Selamatkan Warga Barak


Masalah pengungsi korban tsunami sejak awal musibah memang menjadi persoalan pelik. Pemerintah daerah sebagai kepanjangan pemerintah pusat dalam sepak terjangnya selama ini seringkali tidak mampu menunjukan prestasi gemilang mengurusi hak hidup orang banyak. Apalagi untuk yang satu ini--pengungsi--sering terbaikan sehingga ribuan manusia tak menerima hak-haknya sebagai warga.
Awal tsunami semuanya memang tak berdaya, institusi pemerintahan kita lumpuh, kita nyaris tak bisa berbuat apa-apa, semua harapan kita gantungkan kepada yang di Atas. Syukur ada kelapangan hati saudara kita (baca: relawan) yang datang secara berbondong-bondong dari berbagai daerah di tanah air untuk membantu.
Mengungsi di tempat terbatas dan segala kekurangan memang tidak mengenakan. Tetapi, ya itulah kenyataan yang mesti dihadapi korban tsunami. Kepedihan itu, menjadi beban kolektif yang harus dirasakan seluruh penduduk Aceh.
Dua tahun pascatsunami, Pemerintah Daerah Aceh bisa dibilang telah mampu berbenah. Berbagai inprastruktur yang hancur mulai direhab kembali. Sambil berjalan, segala aktivitas menyangkut hak hidup orang banyak mulai dibenahi, termasuk persoalan pengadaan kembali rumah bagi korban tsunami yang telah lenyap digulung gelombang besar.
Namun, mengembalikan korban tsunami ke habitat asalnya (rumah dan kampung halaman) yang hancur setelah gempa belum terealisasi dengan baik. Hingga tahun 2007 ini, masih ada sekitar 2.467 kepala keluarga korban tsunami yang masih tinggal di barak pengungsian. Bahkan, untuk tiga kali hari Raya Idul Fitri mereka harus rela menjalaninya di barak dan dalam komunitas yang sangat terbatas.
Banyak penyebab yang mengakibatkan terlambatnya proses pembangunan kembali rumah warga korban tsunami. Selain proses verifikasi yang lambat terkait pendataan ulang korban tsunami yang layak mendapat rumah, persoalan lainpun muncul kemudian. Seperti rumah dibangun asal jadi, kontraktor tak menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, dan buruh yang tidak dibayar upahnya. Ini secara tidak langsung memperlambat proses kembalinya pengungsi ke rumah semula.
Komitmen BRR untuk menjadikan Aceh bebas barak tahun 2007 pun hingga saat ini belum terealisasi dengan sempurna. Ribuan warga masih harus menetap di barak bantuan pemerintah maupun NGO. Kondisi seperti ini bukan suatu kenyataan yang baik. Sebab, manusia barak juga sama dengan manusia lainya. Mereka adalah bagian dari kita yang juga harus mendapat perhatian serius, mereka tidak banyak minta ini dan itu, cuma sekedar tempat tinggal yang bisa dihuni dan layak disebut sebagai rumah--bukan dibangun asal-asalan, seperti yang selama ini terjadi.
Berlama-lama di barak pengungsian, tidak baik bagi kelangsungan hidup dan mengebiri hak privasi pengungsi. Barak atau rumah shelter lainya, bukan tempat yang layak membangun sebuah tatanan keluarga, apalagi lokasinya memang sangat tidak layak--seperti barak di bantaran sungai Lamnyong, Darussalam, Banda Aceh.
Tiga tahun menunggu rumah bukan waktu yang sebentar, dalam rentang waktu tersebut generasi Aceh masa depan lahir. Ratusan anak lahir di pengungsian, dia besar dalam lingkungan yang teramat sederhana. Memperhatikan pengungsi barak adalah kewajiban yang harus diutamakan seluruh pemegang keputusan di negeri ini. Pemerintah Aceh dan BRR mesti mengerahkan segala kemampuan agar semuanya bisa kembali seperti semula, mereka kembali punya rumah. Mereka yang duduk ditambuk kekuasaan saat ini, baik di provinsi dan kabupaten/kota juga harus sadar bahwa mereka naik ke tahta tidak lepas dari peran warga barak. Mereka banyak mendulang suara dari komunitas pengungsi barak dengan menjual seribu janji saat kampanye pilkada tahun lalu. Saatnya slogan membela kepentingan rakyat dan sebagai pelayan rakyat (khadimul ummat) bisa direalisasikan dalam bentuk yang nyata di depan mata. Selamatkan warga barak !!

Post a Comment

Previous Post Next Post