Mereka Memusuhi Kita



Tajak u gle dikap le rimueng,
tajak u krueng dikap le buya.

Pergi ke gunung diterkan harimau
Arungi sungai diterkam buaya


Pepatah itu terasa klop jika merujuk kepada kasus mengenaskan yang terjadi di berbagai penjuru Aceh akhir-akhir ini. Beberapa jenis satwa dilindungi seperti gajah, harimau, dan buaya dilaporkan semakin mengganas dan telah merenggut sejumlah nyawa.
Gajah mengamuk, harimau terus menguntit mangsa, kawanan babi hutan tak mau ketinggalan memperkeruh suasana. Bahkan, gerombolan monyet liar juga tak absen mengacak-acak perkebunan warga.
Suasana semakin tidak menentu, saat sebagian petani ladang telah kehilangan anggota keluarganya yang menghembuskan napas terakhir di bawah injakan telapak kaki gajah yang mengamuk di perkampungan. Rumah warga dirobohkan, meunasah ikut dihancurkan, warga berlari berhamburan menjauh dari kemarahan gajah. Rentetan kenyataan tersebut seolah membuka lembaran baru konflik di Aceh, yaitu konflik antara manusia dengan hewan.
Dulu warga enggan pergi ke ladang karena takut dianggap musuh dari sekelompok orang yang bertikai saat itu. Hari ini, mereka kembali enggan ke ladang karena takut si Raja Hutan yang sudah siap memangsa. Warga takut si empunya belalai panjang (gajah) siap mengejar.
Sepertinya, telah ada kesepatakan kolektif antara sesama satwa liar yang dilindungi tersebut. Selain gajah, harimau, dan buaya, kawanana monyet dan gerombolan babi hutan juga melakukan penyerangan sepihak atas komunitas manusia di Aceh.
Habitat gajah, harimau, dan monyet di Aceh memang sedang terancam, mereka merasa kian tersingkir ketika ekosistemnya mulai terganggu oleh ulah manusia yang menebang kayu hutan seenaknya. Si Raja hutan juga tak tinggal diam, dirinya merasa harus turun ke kampung sekedar unjuk taring pertanda marah atas kesewenangan manusia yang merusak ketentraman lingkungan tempat mereka hidup.
Konflik antara manusia dengan satwa yang dilindung itu dalam beberapa bulan terakhir semakin meruncing. Kecemasan atas kemarahan gajah di Aceh dalam sepekan ini diperparah oleh auman harimau yang mulai mengganas memangsa korban manusia di beberapa daerah di Aceh. Bahkan, Rabu (1/8) yang lalu, seorang warga Desa Alue Baro, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan bernama M Deli (35) ditemukan tewas dengan posisi kepala putus dan terpisah dari badan di areal kebun palanya. Korban diyakini dimangsa harimau. Pada hari yang sama, seorang warga miskin dari Desa Seungko Meuulat, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, Abdurrahman Amin (47) juga ditemukan telah menjadi kerangka di hutan Gunung Paro karena dicabik-cabik oleh satwa dilindungi itu.
Untuk mengantisipasi kenyataan ini, Pemerintah Aceh, dalam hal ini Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sudah harus mengambil tindakan tepat agar masyarakat merasa aman dari kemarahan satwa liar tersebut. Curahan pemikiran ditunjang dengan biaya operasional yang memadai harus segera diwujudkan untuk meredam konflik antara manusia dan hewan di Aceh saat ini.
Sekedar mendatangkan pawang untuk melunakkan insting sejumlah binatang yang mulai memusuhi manusia saat ini, hanyalah bagian kecil dari program 'damai' yang hendak dijalin dengan komunitas satwa liar di belantara hutan Aceh. Langkah bijak yang harus dilakukan tentunya dengan mulai menghentikan segala kegiatan yang dapat merusak ketentraman ekosistem sejumlah satwa liar di hutan-hutan seluruh Aceh. Perambahan hutan yang melampaui batas, hanya akan memperuncing permusuhan mereka terhadap kita, komunitas manusia. Wallahu 'alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post