Lebih Dekat dengan Etnis Bajo

25 Juli hingga 5 Agustus 2006, saya berkesempatan mengunjungi Kendari, Sulawesi Tenggara. Banyak kesan tentang daerah di Indonesia Timur tersebut. Mulai dari etnik Bajo hingga kekinian Kendari.


Aroma Kerang Lagah di Mekar Bajo

Mau Urang Mas Malaha Sehe'
Urang Batu Malaha' Diri
Lubbi Ala Ma Kaupoh Laha Diri
Lebih Baik Hujan Batu di negeri Sendiri
Daripada Hujan Emas di Negeri Orang

PEPATAH di atas merupakan prinsip hidup etnis Bajo, satu komunitas etnis yang hidup dan menguasai seluruh pesisir laut Sulawesi termasuk di Desa Mekar Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Mereka adalah manusia-manusia laut yang hidup dan mati di laut, pondasi rumah mereka hanyalah tiang-tiang panjang yang menancap ke dasar laut. Bahkan, rumah-rumah mereka adalah perahu-perahu yang mengapung lepas di lautan.
Etnik Bajo adalah bagian dari masyarakat Sulawesi yang hidup di hampir seluruh pesisir pantai, komunitas mereka biasa disebut juga dengan nama To Bajo, Bajau, Sama, Bajo E, To Wajo atau Orang Laut yang tak memilik teritorial. Dulu, mereka adalah manusia-manusia yang telah menjadikan laut sebagai sahabat dan tempat tinggalnya, aktivitas memasak, tidur, dan menghabiskan waktu bersama keluarga, mereka lakukan di atas perahu dengan layar mengembang. Layak jika mereka disebut sebagai manusia perahu. Tetapi, pemandangan seperti itu tidak nampak lagi, karena sebagian etnis Bajo saat ini telah tinggal di daratan luas di sepanjang pesisir laut Sulawesi.
Sulawesi Tenggara yang terkenal dengan negeri Anoa ini resmi terbentuk pada tanggal 27 Aprl 1964 sebagai realisasi pelaksanaan Perpu Nomor 2 Jo Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964 tentang pembentukan provinsi daerah tingkat I Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Dengan ibu kota Kendari, Sulawesi Tenggara terbentuk dari bekas-bekas wilayah kesultanan Buton dan kerajaan-kerajaan sekitarnya seperti Mekongga, Konawe, dan Kerajaan Muna di Jazirah Tenggara Sulawesi. Nama Sulawesi Tenggara diambil dari hasil perjanjian antara Sultan Buton La Elangi yang bergelar Dayanu Ikhsanuddin dengan utusan VOC Kapten Apllonius Scotte pada 5 Januari 1613.
Sulawesi Tenggara, memilik luas 15.019 Kilometer persegi yang terdiri dari 114.879 kilometer luas lautan (72%), 38.140 kilometer luas daratan (28%), 100 buah pulau, dua pulau berukuran besar, dan tiga gugusan kepulauan. Provinsi penghasil Kakao dan Jambu Mete tersebut, terdiri dari sepuluh kabupaten antara lain, Kabupaten Konawe, Kolaka, Buton, Muna, Kota Kendari, Kota Bau-Bau, Kota Konawe Selatan, Bombana, Wakatobi, dan Kolaka Utara.
Setiap pelancong domestik maupun luar negeri yang menginjakkan kaki di Kendari, sudah pasti menyempatkan mencicipi Sinonggi, makanan khas sulawesi yang terbuat dari tepung sagu. Selain itu, panorama teluk Kendari juga tidak kalah penting dari indahnya pantai Nambok yang sering dikunjungi wisatawan.
Menempuh perjalanan sejauh 17 kilometer lebih dari Kota Kendari, tempat dilaksanakannya Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional ke XXI yang berakhir, Sabtu (5/8) lalu. Dan menyusuri pinggiran jalan berliku dan berdebu, saya berkesempatan mengunjungi salah satu daerah etnik Bajo yang berada di Desa Mekar Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Etnis Bajo merupakan komunitas manusia yang pertama kali mendirikan dan melakukan aktivitas pertama di Kota Kendari, tepatnya di kawasan Kota Lama. Seperti disebutkan seorang ahli sejarah di Kendari, Dr Anwar Hafidz yang melakukan penelitian khusus pada komunitas etnis Bajo sejak tahun 1987. Anwar Hafidz adalah dosen sejarah di Universitas Halu Oleo (Unhalu).
Mengendarai sepeda motor dari pusat Kota Kendari, hari itu Selasa (1/8) gumpalan awan putih cumulus nimbus menggelayut manja di langit biru Desa Bajo. Matahari sudah menampakan diri, gelombang laut tenang tidak bergejolak, pertanda laut sedang bersahabat dengan etnis Bajo yang sebagian diantaranya sedang asyik menyalami jilatan gelombang kecil di pesisir Desa Mekar Bajo. Dari kejauhan terlihat seorang nenek dengan bocah kecil menjinjing karung yang berisi kerang laut.
Diantar oleh beberapa orang pemuda dari etnis Bajo, diantaranya bernama Aco, lelaki berusia 30 tahun yang terlihat berpendidikan. Bersama Aco, saya menyusuri lorong-lorong kecil di antara rumah yang berdiri tegak dengan tiang penopang ditancapkan ke dasar tanah pesisir. Sekitar dua sampai tiga meter, rumah suku Bajo berdiri di atas permukaan pesisir laut. Sesekali, terlihat perempuan suku Bajo menengok dari jendela rumah mereka yang terbuat dari kayu beratap daun rumbia. Sepertinya, mereka penasaran dengan kehadiran saya dan rekan jurnalis lainnya yang berkunjung ke Desa Mekar Bajo.
Pagi menjelang siang di hari Selasa tersebut, perkampungan etnis Bajo terlihat sepi. Hanya beberapa orang saja yang kedapatan melakukan aktivitas membakar kerang jenis lagah hasil tangkapan mereka. Sebut saja Kotu (55), perempuan yang memilik tujuh anak ini, sejak pagi menunggui Kerang Lagah yang ia bakar untuk santapan makan siang bersama keluarganya. Kotu yang telah 17 tahun tinggal di Desa Mekar Bajo adalah isteri dari seorang nelayan bernama Ziba (55). Bersama Kotu dan salah satu anak perempuannya, saya sempat mencicipi Kerang Lagah yang dibakar Kotu. Meski dibakar dengan perapian yang sederhana, tetapi Kerang Lagah yang dihidangkan Kotu terasa nikmat disantap, aromanya serasa menusuk hidung ketika angin menghembus di pesisir Desa Mekar Bajo. "Ini hasil tangkapan suami saya malam tadi, ya untuk makan siang sudah cukup. Sebagian lagi saya jual," kata Kotu sambil sesekali mengiris-ngiris kerang Lagah tersebut dengan pisau dapurnya yang terlihat sedikit berkarat.
Etnis Bajo yang saya kunjungi, secara teritorial masuk ke wilayah Kabupaten Konawe. Garis ekonomi dan tingkat pendidikan suku Bajo boleh dibilang tertinggal dari suku-suku asli Sulawesi yang mendiami berbagai kabupaten dan kota. Rata-rata orang Bajo, hanya menamatkan pendidikan SD, seperti Kotu dan suaminya Ziba.
Di Sulawesi Tenggara terdapat lima etnis besar sebagai penduduk asli di provinsi penghasil jambu mete tersebut. Diantaranya, suku Tolaki dan suku Buton. Beberapa etnis lainnya juga hidup berdampingan, seperti Suku Bugis, Jawa, dan suku pendatang lainya yang sudah berbaur dengan masyarakat setempat.
Komunitas etnis Bajo yang tinggal di Desa Mekar Bajo tersebut, sebelumnya merupakan penduduk yang mendiami pulau Bokori, sebuah gugusan kepulauan di Sulawesi. Mereka secara resmi direlokasikan pemerintah pada tahun 1960 ke daratan Sulawesi.
Menurut beberapa tokoh masyarakat, pulau Bokori sempat terkena gelombang tsunami yang mengakibatkan abrasi pantai yang mulai mengancam etnik Bajo. Selain itu, sistem sanitasi dan air bersih sangat sulit untuk didapat di pulau Bokori.
Saat ini, terdapat sekitar 372 Kepala Keluarga atau 10.022 jiwa etnik Bajo yang tinggal di Desa Mekar Bajo, Kecamatan Soropia dari jumlah keseluruhan etnik Bajo sebanyak 360.000 jiwa yang tersebar di pesisir pantai Sulawesi dan rata-rata berprofesi sebagai nelayan.(***)


Bermula dari Prajurit Kerajaan

ETNIK Bajo atau Bajau memang khas. Mereka lahir, besar dan kembali ke Sang Khalik kala dalam pelukan lautan. Deru nafas mereka juga saling berlomba dengan debur ombak kecil yang berlari menuju tepian. Laut adalah sebuah masa lalu, kekinian dan harapan masa mendatang.
Lalu dari mana asal usul ektik Bajo? Dr Anwar Hafidz Mpd ahli sejarah di Universitas Halu Oleo (Unhalu) Kendari yang ditemui di kampus tersebut, membeberkan dengan rinci asal muasal etnik Bajo. Menurutnya, terdapat beberapa versi tentang asal muasal etnik putera-putera lautan itu. Satu versi menyatakan etnik Bajo berasal dari Johor Malaysia dan kemudian menyebar ke seluruh kawasan timur Indonesia. "Ada juga yang mengatakan suku Bajo merupakan campuran Cina Selatan dan Kalimantan Timur. Namun, semuanya sama, menekankan bahwa suku Bajo hidup di laut," sebut Anwar Hafidz.
Versi ini, didasarkan pada mitos dan cerita rakyat yang berkembang pada masyarakat Bajo. Suatu ketika di masa silam, raja di Johor Malaysia kehilangan putrinya yang sedang bertamasnya mengarungi lautan Nusantara. Dikabarkan, putri raja tersebut tenggelam di lautan lepas. Atas kejadian itu, Kerajaan Malaka memerintahkan seluruh prajuritnya untuk mencari putri raja. Dan mereka tidak diperbolehkan kembali, sebelum berhasil mendapatkan putri sang raja.
Di sinilah dimulai sebuah perantauan tak berujung. Karena tidak berhasil menemukan putri raja yang tenggelam, maka para prajurit kerajaan Malaka memutuskan tidak kembali ke kerajaan dan berlayar kemana saja mengikuti arah angin. "Mereka itulah cikal bakal etnis Bajo yang kemudian tinggal di atas perahu dan berpindah-pindah. Sampai akhirnya mereka tersebar di berbagai pesisir Sulawesi," kata Anwar Hafidz.
Sementara, versi lain menyatakan, mereka berasal dari Vietnam dan Filipina. Hal tersebut didasarkan pada bahasa yang hampir mirip dengan masyarakat pesisir yang ada di Filipina dan Vietnam. "Seluruh etnik Bajo di pantai manapun berada, mereka tetap menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Bajo," sebut Anwar.
Dilihat dari segi aspek budaya, menurut Anwar Hafidz, asal usul etnis Bajo lebih dekat kepada etnis Melayu. Hal tersebut dilihat dari kebiasaan mereka berpantun. "Orang Bajo dalam hitungan detik mampu merangkai pantun yang menarik," katanya.
Suku Bajo, umumnya beragama Islam dan memiliki seni berpantun yang sangat indah. Dalam kancah penyebaran Islam, Suku Bajo menurut Anwar Hafidz mempunyai kontribusi besar terhadap penyebaran agama Islam di Sulawesi bahkan di Nusantara. Tercatat, Imam Masjid pertama di Kota Kendari adalah ulama dari etnis Bajo. Bisa jadi, suku Bajo dalam menyebarkan Islam ada kaitannya dengan Syaikh Abdul Wahid, seorang ulama dari Arab yang sebelum ke Nusantara, terlebih dahulu menyebarkan Islam di Johor Semenanjung Malaysia, dimana etnis Bajo berasal.
Literatur lain yang dikatakan Anwar Hafidz, adalah adanya satu kisah tentang prajurit Malaka yang menyebar menghindari tekanan Portugis ketika menyerang Malaka. "Ketika Portugis menguasai Malaka yang notabene basis kerajaan Islam Melayu, para prajurit Malaka yang tidak mau menerima kehadiran Portugis tersebut menyebar ke kawasan Timur Nusantara, dan inilah yang dalam salah satu versi kemudian membentuk komunitas etnis Bajo yang hidup di laut," sebut Anwar Hafidz.
Bahkan dikatakan Anwar Hafidz, dalam salah satu naskah Lontar Bajo yang ditelitinya, etnis Bajo juga ada yang berasal dari Makasar. Saat ini, setelah sebagian dari mereka memilih daratan untuk tempat tinggal seperti di Desa Bajo, Kecamatan Soropia, etnis Bajo masih saja tertinggal dan hidup apa adanya di pesisir pantai Sulawesi. Anak-anak dari suku Bajo jarang yang bisa mengenyam pendidikan sampai universitas. Rata-rata diantara mereka hanya menamatkan SD, paling tinggi tamatan SMA. Riwayat melek pendidikan bagi etnis Bajo baru saja muncul tahun 1990, saat itu sudah banyak anak-anak Bajo masuk sekolah walaupun hanya tamat SD. Penelitian yang dilakukan La Ode Muharram, seorang praktisi pendidikan dari Universitas Haluoleo (Unhalu) papa tahun 2001 di Kecamatan Soropia, menyimpulkan, sebanyak 96 persen anak suku Bajo drop out sekolah , 4 persen diantaranya bisa tamat SMA dan perguruan tinggi.
Lalu mengapa etnis Bajo terkesan tertinggal dari suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara? Padahal mereka memiliki peran penting saat merintis berdirinya Kota Kendari. Anwar Hafidz mengatakan, penyebab ketertinggalan bidang pendidikan bagi etnis Bajo adalah tidak mendekatnya pendidikan formal ke kawasan suku Bajo. "Keadaan tersebut membuat etnis Bajo sama sekali tidak tertarik dengan pendidikan dan enggan pergi sekolah," kataya.
Pemerintah dalam hal ini, menurut Anwar Hafidz belum memaksimalkan pendidikan di kawasan tersebut. Saat ini, baru ada sekolah Dasar yang jaraknya lumayan dan ditempuh dengan berjalan kaki. "Untuk memajukan etnis Bajo agar sejajar dengan komunitas lainnya di Sulawesi, maka perlu mendekatkan lokasi pendidikan formal ke kawasan pemukiman masyarakat Bajo," kata Anwar.
Diantara hiruk-pikuk dan meriahnya pelaksanaan MTQ Nasional di pusat Kota Kendari, Etnis Bajo yang berada 17 kilometer dari arah Kendari tersebut sepertinya tidak terpengaruh dengan acara tersebut. Jika geliat MTQ terlihat diekspresikan berbagai cara oleh warga di Kendari, maka etnis Bajo sama sekali tidak terlalu gereget meskipun orang nomor satu di negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang langsung membuka arena akbar MTQ tersebut.
Bagi etnik Bajo, laut adalah segalanya, laut adalah kehidupanya, laut adalah ombok lao, atau raja laut. Etnis Bajo, dalam menempatkan orang membaginya ke dalam dua kelompok. Sama' dan Bagai. Sama' adalah sebutan bagi mereka yang masih termasuk ke dalam suku Bajo sementara Bagai adalah suku di luar Bajo. "Orang Bajo sangat hati-hati dalam menerima orang baru. Mereka tidak mudah percaya sama pendatang baru," katanya.
Etnis Bajo, yang biasa memanggil laki-laki dengan sebutan Lilla dan perempuan dengan sebutan Dinda tersebut, memilik kemampuan mendiagnosi jenis penyakit yang diderita salah satu ikan di laut. "Orang Bajo bisa tahu ikan yang sakit dan tidak, ini menunjukan sebenarnya dasar-dasar ilmiah sudah mereka miliki, " sebut Anwar.
Tingkat sosial masyarakat Bajo dalam menyokong kehidupan beragama juga tergolong tinggi, seperti disebutkan Anwar Hafidz di Desa Mekar Bajo sebuah masjid di Desa tersebut dibangun hanya oleh satu orang dari suku Bajo.
Meski sebagian etnis Bajo tidak lagi hidup dalam perahu-perahu yang mengapung di samudera lepas, saat ini etnis Bajo yang mendiami seluruh pesisir Sulawesi masih hidup dengan hanya mengandalkan sektor air. Bagi mereka, laut dan hasilnya adalah tempat untuk meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo.
Etnis Bajo, memiliki keyakinan penuh atas sebuah ungkapan, bahwa Tuhan telah memberikan bumi dengan segala isinya untuk manusia. Keyakinan tersebut tertuang dalam satu Falsafah hidup masyarakat Bajo yaitu, 'Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana', artinnya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita saja manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya. Ya...itulah pesan bijak dari anak-anak dalam pelukan lautan.(***)
dampingi dengan foto

Etnis Bajo
Rindu Bangku Sekolah

BAJO hanyalah satu dari sekian etnis yang hidup di Sulawesi Tenggara. Mereka adalah komunitas manusia laut yang memiliki kontribusi pada pembentukan Kota Kendari, tetapi sampai saat ini masyarakat Bajo masih saja terbelakang dalam bidang pendidikan dan ekonomi.
Rata-rata etnis Bajo hanya menamatkan pendidikan pada level SD, seperti disebutkan dalam hasil penelitian La Ode Muharram, praktisi pendidikan di Universitas Halu Oleo (Unhalu) yang menyimpulkan 94 persen anak-anak Bajo putus sekolah, sisanya hanya tamat SMU.
Keadaan tersebut mengakibatkan etnis Bajo khususnya yang mendiami pesisir Laut Desa Mekar Bajo menjadi masyarakat yang marjinal, terpinggirkan dari keramaian dan geliat pembangunan di Sulawesi Tenggara.
Program pemberdayaan untuk masyarakat Bajo menurut Dr Anwar Hafidz, ahli sejarah yang meneliti dalam aspek pendidikan etnis Bajo, sebenarnya banyak dilakukan di komunitas Bajo tersebut, tetapi pemberdayaan selama ini yang dilakukan pemerintah bagi etnis Bajo tidak diiringi dengan sistem pendidikan terpadu. Akibatnya, kucuran dana untuk berbagai bentuk kegiatan tidak pernah sukses bahkan habis tak menentu.
Disebutkan Anwar, bantuan pemerintah selama ini untuk etnis Bajo tidak mendidik secara langsung bagaimana etnis Bajo itu bisa meningkatkan skil dan keahlian lainnya. Pemerintah belum memerankan fungsi bagaimana masyarakat Bajo bisa berkembang dan memilik kecakapan hidup yang mampu mendukung kehidupan dan masa depan mereka. "Saya juga tidak menyalahkan etnis Bajo seluruhnya, tetapi kita harus memacu percepatan dan ada aksi yang dilakukan pemerintah untuk orang Bajo," kata Anwar.
Menurut Anwar Hafidz, harus ada agen pembaharu untuk membangun dan mensejajarkan masyarakat Bajo dengan etnis lainnya yang lebih maju secara pendidikan dan ekonomi. "Dekatkan etnis Bajo pada pendidikan yang sejalan dengan dunia mereka dan dekat dengan keseharian mereka," katanya.
Rendahnya tingkat pendidikan bagi etnis Bajo, belakangan sering dikaitkan dengan tindakan para nelayan Bajo yang mulai mencari ikan dengan memakai bom. Cara tersebut kemudian memberikan stigma bagi masyarakat Bajo yang dijuluki Si Tukang Bom.
Mengomentari sebutan tersebut bagi etnis Bajo, Anwar Hafidz mengatakan, semua pihak tidak harus menyalahkan orang Bajo. Karena kondisi tersebut berdasarakan penelitiannya, diakibatkan etnis Bajo belum mampu bersaing dengan nelayan lain yang sudah memakai sistem modern dalam menangkap ikan. "Jika pemerintah memberikan alternatif bagi masyarakat Bajo, maka menangkap ikan dengan cara membom tidak akan terjadi lagi karena mereka juga tahu bahayanya." kata Anwar.
Disebutkan Anwar, pemerintah hanya melarang tetapi tidak memberikan solusi. Seharunya ada agen yang bisa mendampingi masyarakat Bajo dan memberikan bimbingan dalam setiap program pemberdayaan pada etnis Bajo. "Orang bajo sebenarnya cerdas, jika selama ini terlihat tertinggal itu karena kebijakannya dan sistem yang layak saja yang belum berpihak kepada mereka," sebut Anwar.
Terdapat hal lain yang paling menarik dari etnis Bajo dalam menjalani hidup. Antara lain sikap disiplin, contoh ketika mereka menambatkan perahu di pesisir pantai, dia tahu satu dua jam kemudian harus diambil. Jika tidak diambil, masyarakat Bajo tidak akan jadi melaut, karena air sudah surut dan perahu tidak bisa ditarik ke lepas pantai.
Soal waktu, masyarakat Bajo juga merupakan etnis yang disiplin dan tepat waktu. Ketika mereka harus melaut pukul 04.00 sebelum shalat shubuh, maka mereka akan bangun dan langsung pergi melaut. Mereka tidak pernah mengingkari waktu tersebut. "Kondisi seperti ini sebenarnya tipe masyarakat yang modern dan terpelajar. Jadi sendi modernitas dan kaum terpelajar sudah dimiliki masyarakat Bajo, cuma formalnya saja yang belum mereka nikmati sehingga kecerdasan dan keterampilan sepertinya tertutupi, " kata Anwar.
Dikisahkan Anwar Hafidz yang telah lama berkecimpung dengan etnis Bajo, masyarakat Bajo tergolong kreatif. Hal tersebut menurut Anwar bisa dilihat ketika dirinya memberikan pelatihan pembuatan kerupuk ikan. Salah satu peserta mengajukan pertanyaan, apakah bisa menjadi kerupuk kerang dan tidak hanya ikan? maka mereka menggantinya dengan kerang dan jadilah kerupuk kerang dan seterusnya. Mereka selalui kreatif dan inovatif dalam berkarya. "Dasar seperti inilah yang sebenarnya bisa mengangkat derajat kehidupan etnis Bajo melalui pendidikan formal yang relevan dan sesuai dengan geografis etnis Bajo," kata Anwar.
Obrolan saya dengan Dr Anwar Hafidz di Universitas Halu Oleo (Unhalu) tentang etnis Bajo di negeri penghasil Kakao tersebut berakhir pada satu kesimpulan, bahwa mengantarkan etnis Bajo kepada kehidupan yang modern dengan tidak meninggalkan budaya leluhurnya sebagai pelaut ulung, haruslah ditempuh dengan langkah bijak pemerintah. Pemerintah harus mendekatkan komunitas etnis Bajo kepada pendidikan formal yang nyata dalam kehidupan manusia laut itu. Layaknya, menurut Anwar di kawasan pesisir Bajo atau di Kendari didirikan sekolah atau akademi pelayaran atau perikanan.
Saat ini pendidikan bagi etnis Bajo masih sangat jauh dari yang diharapkan, permasalahannya masih berkutat pada belum relevannya sistem pendidikan bagi etnis Bajo. Anak-anak Bajo menurut Anwar memerlukan pendidikan alternatif dan kesesuaian dalam belajar untuk mengantarkan masyarakat Bajo masa depan yang lebih berpendidikan dan mampu sejajar dengan etnis lain di Sulawesi yang selangkah lebih maju ketimbang etnis Bajo. "Ini akan menarik perhatian etnis Bajo karena laut dan ikan adalah dunianya. Inilah sistem pendidikan yang akan mampu mengangkat sisi hidup masyarakat Bajo masa depan sebagai manusia pecinta laut," katanya.
Bercengkrama dengan etnis Bajo sungguh mengasyikan, sayang hari itu matahari mulai condong ke arah barat. Gelombang laut pesisir Bajo mulai nampak beriak pertanda hendak menjemput perahu-perahu bajo pergi berlayar.
Selesai menyantap ikan yang dihidangkan dengan beragam cara memasaknya di rumah keluarga Aco, pemuda etnis Bajo yang memandu saya. Saya terpaksa harus pamit meninggalkan etnis Bajo yang bersahabat dengan siapapun yang datang ke Desa Mekar Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe tersebut. Senyum persahabatan tersungging lepas dari keluarga masyarakat Bajo di Desa Mekar Bajo ketika melepas saya meninggalkan perkampungan etnis penguasa laut Sulawesi tersebut.
Melaju dengan kendaraan bermotor menyusuri debu jalan pesisir Desa Mekar Bajo sepanjang 17 kilometer, akhirnya saya kembali menghirup udara Kota Kendari yang ramai oleh hiruk pikuk kehidupan manusia dengan beragam aktivitas, sungguh jauh berbeda dengan keheningan dan desiran ombak yang bersahabat di Mekar Bajo.

1 Comments

Previous Post Next Post