Mengemis di ATM

Menelisik Kehidupan Pengemis di Banda Aceh
Mengincar 'Lahan Baru' di ATM

Upaya penertiban terhadap gelandangan dan pengemis (Gepeng), yang dilancarkan Pemko Banda Aceh sejak satu pekan terakhir, tampaknya tidak membuat mereka jera. Buktinya, meski ditangkap di perempatan Lampu Merah, mereka pun mengincar "lahan baru" di lokasi-lakasi mesin ATM.

SIANG itu, Rabu (16/1), terik matahari yang menyengat seakan tidak mengurangi antrean panjang para nasabah yang ingin bertransaksi di Kantor Kas sebuah bank di kawasan Darussalam. Demikian pula box anjungan tunai mandiri (ATM) yang terletak di luar teller room bank tersebut, juga tampak dipenuhi nasabah yang ingin melakukan proses transaksi cepat.
Di antara deretan nasabah di ATM bank itu, tampak seorang ibu bersama seorang anak kecil ikut mengantri. Sepintas, mungkin ada yang menduga bahwa sang ibu bersama anak kecil ini juga merupakan nasabah dari bank tersebut. Terlebih ketika giliran keduanya juga masuk ke dalam ruang berukuran sekitar satu meter persegi itu, ruang mesin ATM tersebut ditempatkan.
Dugaan tadi terjawab justru terlihat ketika sang ibu itu keluar kembali dari bilik ATM. Nah, kalau nasabah lain keluar sambil menggepit uang, kartu ATM atau struk penarikan usai melakukan transaksi, misalnya, sang ibu yang berpenampilan agak kumuh dan sedikit acak-acakan tersebut justru melenggang sendiri keluar. Celakanya lagi, si anak yang tadi ikut masuk bersamanya, tampak ditinggalkan begitu saja di dalam bilik ATM itu.
Lalu, apa kerja si anak yang masih tetap berada di dalam bilik ATM itu? Masa bodoh. Nasabah lain yang tak sabar menunggu si anak keluar, kemudian menerobos masuk. Ternyata anak kecil yang ditinggalkan ibunya itu tidak sedang melakukan transasi, melainkan hanya berdiri saja di ruang sempit tersebut. "Silahkan Om, jangan lupa isi nomor PIN-nya!" ingatnya ketika nasabah lain ingin menariknya uangnya.
Kejadian itu terekam persis Rabu siang lalu di ATM BPD Darussalam dan sempat membuat orang yang antre sebelumnya heran. Namun, keheranan itu terjawab ketika masing-masing yang antre mendapat giliran menggesek kartu kecil di mesin ATM dan berhasil mendapatkan jumlah uang yang dimintanya. "Sedekahnya buat saya bang," kata anak kecil itu ketika seseorang selesai melakukan penarikan.
Rupanya, anak kecil berumur sekitar sembilan tahun ini hanyalah seorang pengemis yang mengadu nasib di ruang kecil ATM BPD Darussalam. Bahkan ketika Serambi mendapat giliran mengesek di ATM, si kecil itu dengan sangat familier menunjukan tombol mana yang harus kita tekan di mesin ATM sambil mengingatkan, "Jangan lupa masukin PIN-nya bang".
Beberapa orang sekitar BPD Darussalam menyebutkan, anak tersebut sering berada di sekitar ATM itu, tetapi kadang-kadang juga hilang begitu saja dan akan kembali dalam beberapa hari. "Dia memang sering di sini. Saya juga kadang kasih uang untuk dia dan dia biasa beli makan di warung sebelah," kata seorang warga sambil menunjuk kedai di sebelah BPD itu.
Si pengemis kecil ini, merupakan kasus pertama terjadi di Banda Aceh, sebelumnya pengemis yang nongkrong di beberapa lokasi ATM hanya berdiri di luar pintu atau berjarak satu meter dari mesin ATM dan akan mendekat dengan menengadah tangan saat seseorang keluar dari ATM.
Pengemis di Banda Aceh memang berjibun, apalagi sempat dalam bulan terakhir ini jumlahnya terus meningkat. Kebanyakan di antaranya para penyandang kusta, cacat fisik, atau sengaja dibuat seperti cacat hingga pengemis yang masih segar bugar. Semuanya melakukan kebiasaan sama, menengadahkan tangan di perempatan Lampu Merah, di pusat perbelanjaan, dan di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) pengisian bahan bakar.
Buka kedok
Apakah kita harus kasihan pada pengemis yang mangkal di setiap jalanan di Banda Aceh? Seorang pengemis perempuan cukup umur mau berbuka cerita. Sebut saja namanya Icut (60) asal Aceh Timur ini membuka kedok kepalsuan para pengemis di Banda Aceh. Dikisahkanya, Icut terdampar di Banda Aceh karena ingin mencari anaknya yang hilang saat konflik dulu. Karena kehabisan uang akhirnya Icut mengemis di sekitar halaman Masjid Raya Baiturrahman dan menjalani hidup sebagai gelandangan tak tentu arah. Dikisahkanya, suatu ketika ada seorang lelaki mendekatinya dan menawarkan tempat tinggal di kawasan Simpang Surabaya. Tawaran itu membuatnya sedikit tertolong dari dinginnya malam. Namun setelah dia tinggal selama beberapa hari di rumah kontrakan milik si lelaki itu pun mengatakan, Icut boleh tetap tinggal di rumah tersebut dan harus memberi setoran seperti yang dilakukan pengemis lain. "Rupanya lelaki tadi bos nya para pengemis di sini, kami ditampung di rumah yang dia kontrak," katanya.
Icut pun tak punya pilihan lain kecuali harus bersedia memberi setoran setiap hari setelah dia mengemis. Dia hanya menyisakan sekedar cukup untuk makan saja. Dari wanita pengemis itu didapat informasi, banyak pengemis yang sudah punya kendaraan motor, HandPhone, dan barang elektronik lainnya. Bahkan para pengemis yang memiliki anak kecil sengaja menyewakan anaknya ke pengemis lain untuk dibawa ke jalan agar orang semakin iba melihatnya.
Modal usaha
Pemda NAD beberapa waktu lalu pernah menampung puluhan pengemis untuk diberi pelatihan keterampilan lalu disuruh pulang ke kampung halamanya masing-masing dengan disertai modal untuk usaha. Sebanyak 70 orang pengemis yang selama ini berkeliaran di Kota pun berjanji pulang kampung untuk usaha dan tak mengemis lagi di Banda Aceh. Mereka menerima bantuan modal usaha yang disalurkan Dinas Sosial Provinsi NAD senilai Rp 3.997.500 per orang yang diserahkan Kadis Sosial NAD, Drs Ridwan Sulaiman.
Efektifkan pola yang dijalankan Dinas Sosial itu. Mudah-mudahan saja efektif dan bisa mengurangi bahkan menghapus angka pengemis di Banda Aceh. Tetapi, tak salah jika kita berkaca pada penduduk Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung. Warga miskin di sana tidak mau menjadi pengangguran yang menjadi parasit bagi orang lain. Membanting tulang sudah pasti jauh lebih menjanjikan dan terhormat dibandingkan menjadi pengemis, misalnya.
Mungkin karena penduduknya yang suka bekerja keras itulah di Kota Pangkalpinang tidak dijumpai gelandangan dan pengemis. Meski kemiskinan dan hidup pas-pasan melilit warga, ternyata mereka tidak memilih menjadi pengemis. Mereka memilih tetap bekerja sebagai buruh kasar, baik di lokasi-lokasi penambangan timah, di pasar, atau tempat lainnya.
Dalam literatur agama bahkan disebutkan agama Islam yang bersifat universal, tidak saja berbicara masalah ritual dan spiritual. Tapi juga menyoroti segala permasalahan sosial yang selalu dihadapi umat manusia, di antaranya adalah masalah pengangguran dan peminta-minta yang belakangan banyak berseliweran di berbagai sudut kota Banda Aceh, dan kota-kota lain di provinsi ini.

Post a Comment

Previous Post Next Post