Pemerintah Aceh kembali menolak pengesahan Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe. Raqan Wali Nanggroe yang menjadi inisiatif dewan tersebut, jika disahkan saat ini dinilai hanya akan menambah beban anggaran pemerintah.
Selain rancangan qanunnya belum mendesak disahkan, lembaga ini juga masih jauh dari filosofi sesungguhnya diinginkan sebagian masyarakat Aceh. Kalangan eks GAM, misalnya, sejak Raqan ini
dibahas di Dewan sudah mentah-mentah menolak draft yang ada. Kunjungan dewan ke Swedia untuk bertemu dengan tokoh pergerakan GAM, Tgk Hasan Tiro juga tidak membuahkan hasil. Sosialisasi dewan di beberapa daerah di dalam maupun di luar negeri terkait Raqan Wali Nanggroe, masih banyak menemukan persoalan. Ada banyak silang pendapat tentang keberadaan institusi Wali Nanggroe, termasuk soal wewenangnya.
Pihak GAM selama ini memiliki kriteria tersendiri terkait Wali Nanggroe. Jabatan Wali Nanggroe ini, misalnya, akan menjadi jabatan politis. Pejabatnya menjadi sesuatu yang diagungkan. Meminjam istilah yang sempat dilontarkan Alm Ibrahim KBS (Juru Bicara KPA) Wali Nanggroe adalah sosok yang "Dipertuan Agung". Beberapa poin terkait sosok Wali Nanggroe, juga disebut-sebut harus kebal hukum. Seseorang yang menjabat sebagai Wali Nanggroe, tidak bisa ditangkap atau ditahan karena pernyataan atau kritikan terhadap persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Berdasarkan Rancangan Qanun (raqan) Wali Nanggroe yang kini memasuki tahap akhir, sifat kekebalan hukum (imunitas-red), menjadi bagian yang melekat pada Wali Nanggroe. Cukup pelik memang, merumuskan Raqan Wali Nanggroe ini, selain menjadi bagian dari kesepakatan dalam MoU Helsinki, Institusi Wali Nanggroe menjadi bagian yang sangat sensitif bagi kelompok GAM yang sejak awal memperjuangkan lembaga tersebut.
Ada dua pertentangan yang akan terjadi ketika Raqan Wali Nanggroe ini disahkan dalam berbagai versi dan keinginan sesungguhnya. Mengacu kepada keingian sebagian kelompok masyarakat yang menghendaki Wali Nanggroe sebagai jabatan politik, kebal hukum, juga berhak menasehati dan membubarkan pemerintahan, maka apa jadinya negeri ini ke depan? sebab perundangan yang paling tinggi di negara ini sudah jelas adanya.
Tetapi, jika Raqan Wali Nangroe juga disahkan dengan ketentuan normatif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, maka benar apa kata Gubernur Aceh. Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe hanya akan membebani anggaran pemerintah saja, alis menghamburkan uang. Sebab, jika hanya sebagai pemangku adat yang punya tugas memberi gelar kehormatan, maka cukuplah Majelis Adat Aceh (MAA) yang ada saat ini. Artinya, fungsi MAA bisa dimaksimalkan adanya.
Bisa dipahami, jika eksekutif dalam hal ini Gubernur Aceh menolak Raqan Wali Nanggroe saat ini. Selain tidak sesuai keinginan semula, Raqan ini jauh sekali dari harapan sesungguhnya tentang sosok Wali Nanggroe. Meminjam keinginan kalangan di pihak eks kombatan GAM maka wajar bila Wali Nanggroe itu adalah Wali Nanggroe yang sesungguhnya. Yaitu, Wali yang mereka akui selama ini.
Di kalangan mantan kombatan GAM, juga para petinggi gerakan ini Wali Nanggroe yang ditawarkan semula dalam klausul MoU Helsinki adalah sebenar-benar 'Wali Nanggroe' yang diidamkan selama ini. Ia adalah pemimpin tertinggi yang selama ini menjadi sosok kharismatik dalam perjuangannya. Tetapi, persoalan juga muncul ketika ada kriteria yang ditetapkan untuk calon Wali Nanggroe. Apalagi, melihat konteks dalam skala luas aturan di negara ini. Keinginan jabatan Wali Nanggroe harus dijabat oleh 'Wali Nanggroe' sebenarnya, sepertinya akan mulai dirumuskan kembali oleh para wakil rakyat ke depan yang nota bene pendukung 'Wali Nanggroe' sesungguhnya. Tunggu saja!