Pagi tadi, Senin, 31 Agustus, saya mampir ke salah satu Bank Syariah di Banda Aceh, ada sesuatu yang mesti saya ketahui lebih jauh dari sebuah tawaran iklan di surat kabar terkait kemudahan pembiayaan untuk mendapatkan tempat tinggal (rumah atau ruko). Saya tertarik lebih jauh tentang iklan itu, siapa tahu ada jalan untuk mewujudkan impian istri saya yang sudah lama mengingingkan tempat usaha yang strategis.
Sehari sebelumnya, kenalan istri saya menawarkan sebuah ruko lantai 3 di kawasan ramai di pusat kota Banda Aceh, lokasinya strategis. Dengan harga jual yang ditawarkan, 70 persen hati saya setuju untuk membeli ruko itu. Tetapi, persediaan uang masih kurang. Lalu saya teringat iklan di surat kabar soal bank syariah yang bisa memfasilitasi mewujudkan impian itu.
Pukul 09.30 WIB saya sudah berada di bank syariah penyedia layanan itu. Gedung tempat bank itu beroperasi, bukan kali pertama saya datang ke sana. Selain saya membuka rekening di sana, setiap kiriman uang untuk sanak family juga dilakukan dari bank itu. Ada banyak kemajuan yang terlihat dari layanan bank syariah itu, cara satpam menyambut nasabah di pintu depan hingga pelayanan lain yang berkait dengan nasabah. Dulu, ketika awal bank itu membuka cabang di Banda Aceh saya pernah dibuat tidak nyaman dengan pelayanannya. Ada kebiasaan turun-temurun di keluarga saya jika mau mengambil uang dalam jumlah banyak di bank. Saat itu, di tahun 2005 di awal tsunami di Aceh saya berencana menarik uang sebesar 50 juta rupiah untuk keperluan belanja barang-barang dagangan istri saya. Dari rumah, saya hanya mengenakan kaos oblong agak kotor sedikit dan mengenakan sandal jepit sudah tipis. Biasanya sandal itu dipakai istri buat di dapur. Apa yang terjadi? Pihak bank tempat saya buka rekening itu saling tatap dengan kawannya yang lain ketika saya menyodorkan slip penarikan uang sebesar itu. Seperti tidak percaya, satu teller meminta saya menunggu lalu dia masuk ke dalam ruangan sebelah. Saat itu, saya merasa ada yang tidak biasa dari cara mereka melihat saya. Tetapi saya sadar diri, mungkin mereka tidak percaya pada saya. Lama menunggu, akhirnya saya dipanggil ke ruang sebelah dari tempat teller biasa, di sana diminta foto copy KTP dan beberapa kali tandatangan di aplikasi penarikan. Tidak biasanya seperti itu!
Uang sebesar Rp 50 juta itu memang cair juga, karena memang itu uang saya yang bisa ditarik kapan saja. Tetapi, hingga saya keluar dari bank saya merasa ada tatapan yang dipenuhi kepenasaran pada diri saya yang kotor dan kumel itu. Sepanjang perjalanan pulang dari bank, saya berfikir apa jadi orang kaya itu harus rapi? Apa untuk ambil uang sebanyak itu penampilan harus meyakinkan? Dan banyak lagi pikiran saat itu menyelimuti hati saya. Kejadian itu sudah berlalu, tetapi ada kejadian di kesempatan lain. Saya kirim uang untuk adik saya Rp 5 juta di bank syariah yang sama, tetapi diterima oleh adik saya hanya Rp 500.000. Perlu waktu dua hari menyelesaikan masalah itu, rupanya ada kesalahan teller dalam mengetik nominal 5 juta. Anda tidak percaya? Saya mengalami itu!!
Lucunya, pihak bank juga kebingungan. Ada uang 4,5 juta yang tidak tercatatkan di teller tempat saya melakukan transaksi pengiriman uang itu. “Oh ya, makasih pak. Dari kemarin kita bingung. Ini ada uang lebih tetapi tidak jelas catatannya,” kata seorang perempuan di ujung telepon ketika saya coba tanyakan perihal pengiriman uang yang kurang itu.
Pengalaman itu menjadi tanda tanya besar bagi saya, kenapa bisa sebuah bank syariah dengan tingkat keterkenalan cukup baik, masih bisa salah seperti itu. Soal teknis memang bisa saja, namanya juga manusia. Tetapi, untuk urusan yang satu ini yang benar-benar saya alami di bank syariah, sepertinya sesuatu yang harus menjadi perhatian semua pengelola bank syariah. Saya pernah kecewa dengan layanan di bank syariah yang sama sekali tidak berkenan memberikan senyum untuk nasabah. Semua proses transaksi tidak ada basa-basi, terdiam alias tak ada kata-kata, termasuk kata terima kasih. Untuk persoalan yang satu ini, saya pernah menutup rekening di bank syiarh dimaksud. Kejadian ini, rupanya dialami oleh kawan saya. Ia bercerita tentang keluhan di bank syariah tempatnya dia menabung yang tidak memberikan layanan smart kepada nasabah. Kasusnya sama, tidak ada kata basa-basi dari teller saat melakukan transaksi di bank itu.
Pagi tadi, seperti pada awal tulisan saya di atas, kejadian-kejadian itu terulang kembali. Saya bertanya kepada salah satu teller, “Layanan pembiayaan di sebelah mana? Tidak ada jawaban yang mengenakan, apalagi senyum. Yang ditanya hanya menunjuk ke lantai atas tempat yang saya cari itu. Wah, ternyata memang belum berubah sikap seorang karyawan di bank itu.
Dari pengalaman di atas itu, saya berharap lebel syariah pada bank, apa saja namanya, tidak pada sebatas sistem yang dijalankan. Melainkan syar’i yang meliputi aspek kehidupan sumber daya pekerja di dalamnya. Senyum kepada pelanggan adalah bagian dari akhlak muslim yang diatur syariah. Tidak melakukan kesalahan dalam proses transaksi, seperti yang saya alami itu, adalah wujud profesionalisme yang mencerminkan keagungan sistem perbankan syariah. Cara memperlakukan nasabah, termasuk mereka yang mau dibantu pembiayaan apa saja bisa diperlakukan sebagai mitra kerja yang saling menguntungkan. Bukan disambut layaknya seorang miskin mendatangi si rentenir.
Perbanksan syariah memang mulai menjadi pilihan masyarakat muslim, setelah sukses menghadapi krisis global keuangan, maka layanan perbankan syariah mesti juga memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin dianggap sepele, menebar senyum, misalnya. Sebab, lebel syariah yang menjadi ikon selama ini bukan sebatas nama, melainkan mengalir di dalamnya ruh dari syariah islam itu sendiri. Bank syariah bukan hanya tempat perputaran ekonomi (menabung, sarana berinvestasi, sarana berhutang), tetapi sebagai sarana dakwah yang mengemban nilai-nilai moral Islam yang luhur. Semoga penampilan saya yang kucel di awal tahun 2005 dan kedatangan saya untuk minta keterangan pembiayaan tidak lagi dianggap orang miskin yang mengemis ke rentenir. Sebab, hadirnya bank syariah itu diperuntukan untuk semua orang. Miskin, kaya, perempuan, laki-laki, penampilan kucel, dan bersih semua berhak mendapati fasilitas yang disediakannya.