Ancam,Maka Menanglah?


Sebuah pesan singgah di kotak surat, alamat email saya, mengabarkan perihal intimidasi dan kekerasan terhadap seorang perempuan kader partai yang dikenal dengan jargon peduli dan bersih. Perihal pelaku intimidasi itu dilakukan seorang anggota partai lokal di Aceh, yang merasa 'tersaingi'. Meski sebenarnya, yang harus merasa tersaingi adalah partai si perempuan tadi yang sudah lama bercokol di kampungnya ketimbang partai yang baru datang itu, apalagi dalam skala lokal.
Soal intimidasi menjelang pemilu, memang cerita lama. Perilaku tidak terpuji dengan cara mengancam dan menakut-nakuti ini memang kerap terjadi. Bahkan di era ketika rezim orde baru berkuasa, semuanya nyaris tidak bisa berkutik ketika semua elemen negara bersekongkol melakukan intimidasi agar pemilu ketika itu dimenangkan partai berkuasa. "Ancam, maka menanglah," adalah bentuk intimidasi yang sering dilakukan saat itu. Cara ini memang bukan cara terhormat untuk memenangkan pemilu, tetapi pola ini manjur menaklukkan lawan politik dari partai lain.
Proses demokrasi yang sudah berjalan cukup baik di Aceh, seharusnya tidak diwarnai dengan unsur kekerasan di lapangan. Tetapi, kenyataan saat ini menunjukan itu. Sering ada kegiatan mengatasnamakan partai tertentu yang menakut-nakuti masyarakat atau melakukan kekerasan kepada lawan politiknya. Di Aceh Jaya, sudah lama beredar pesan singkat (SMS) yang isinya bernada ancaman. Jika masyarakat Aceh Jaya tidak memilih partai lokal itu, maka, "Jangan salahkan kita," begitu tulis pengirim pesan penebar teror itu. 'Kita' dalam pesan singkat itu sudah sangat jelas siapa dan dari kelompok mana. Ironisnya, pucuk pimpinan partai pelaku teror itu sering berkilah bahwa itu bukan dilakukan oleh kader partainya. Sampai di sini, masyarakat hanya bisa menghela napas tanpa bisa berbuat lebih untuk menghentikan itu, bahkan mereka takut melapor ke aparat terkait intimidasi yang diterimanya. Prihatin!
'Menyekolahkan' masyarakat dan pelaku politik untuk bisa bersikap arif serta bijak sulit diimplementasikan. Meski jargon bermain bersih dan bermartabat untuk memenangkan pertarungan di lapangan, sering digemborkan, tetapi itu hanya bualan belaka.
Syahdan, suatu ketika seorang pendiri partai politik lokal di Aceh bercerita. Dirinya dilempari batu ketika berceramah di salah satu kampung di pedalaman Aceh. Sang tokoh yang juga seorang politikus kawakan di negeri ini tahu siapa yang melakukan itu terhadapnya. Mereka, katanya, orang-orang dari kelompok partai lokal lain yang merasa tersaingi. "Saya heran saja, kenapa mereka tidak pernah mau dewasa berpolitik. Kelakuan seperti itu, hanyalah sifat dari orang-orang rendahan yang tidak mengerti agama," katanya.
Apa yang dialami seorang pendiri partai di atas, tentu jangan terulang untuk kesekian kalinya. Sebab, perdamaian yang sudah berlangsung saat ini di Aceh adalah cermin bagi berbagai sektor lain yang mendukung langgengnya damai. Ketika kesempatan berpolitik praktis begitu cukup terbuka, maka seharusnya semua orang dari partai mana pun berasal, sadar diri bahwa dirinya merupakan bagian dari penentu perdamaian dan tidak melakukan hal-hal yang merusak damai. Dengan itu, maka masyarakat di negeri ini akan tetap merasa tenteram termasuk untuk menyalurkan hak politiknya secara demokratis, tanpa paksaan, dan intimidasi.
Bukankah, proses demokrasi yang sehat itu ditandai dengan perilaku sehat dari penggerak demokrasi itu sendiri--termasuk para kader partai politik--bukan justru sebaliknya. Untuk itu, perlu kesadaran kolektif dari semua pihak supaya berani melaporkan berbagai bentuk ancaman dan intimidasi dari pihak lain. Dengan demikian, jargon "ancam, maka menanglah" akan lenyap di negeri ini. Semoga!

Foto:REPRO/ILUSTRASI

Post a Comment

Previous Post Next Post