Ulama dan Partai Politik



---- "Kalau di Pesantren pakai Tafsîr Jalâlayn, tapi kalau di partai politik pakai `tafsir jalan lain'." -----

Era reformasi memberi kesempatan luas kepada siapa saja untuk terjun dalam kancah politik. Lahirnya partai politik di tanah air, adalah indikasi bahwa reformasi yang bermuara kepada terbukanya kebebasan berdemokrasi telah dan akan terus berjalan. Partisipasi rakyat dalam euforia kebebasan berdemokrasi menjadi lumrah adanya, termasuk peran serta kalangan ulama dalam perhelatan ini.
Para ulama, baik secara terang-terangan atau bermaian di balik layar, akhirnya banyak terlibat dalam partai politik. Padahal, perjalanan pahit kerap kali dipertontonkan kepada kita, ulama cenderung ditinggalkan ketika kekuasaan sebagai tujuan utama dalam berpolitik telah terwujud. Pengalaman juga menunjukan, ulama sering ditinggalkan bahkan nasihatnya pun untuk penguasa sering dianggap duri yang harus disingkirkan. Tetapi seperti tidak pernah ada penyesalan, sebagian ulama pun asyik berkutat di wilayah ini, bahkan menjadi penyokong suara yang perlu diperhitungkan dalam setiap pesta demokrasi di negeri ini.
Dalam konteks Aceh misalnya, para penyokong spiritual sejumlah partai lokal juga dipenuhi oleh sejumlah ulama kharismatik. Percaya atau tidak, meski jauh-jauh hari di Muktamar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) para ulama telah berazam (janji) untuk tidak turun berpolitik. Toh akhirnya, kesepakatan itu, tidak berjalan seperti yang diharapkan semula. Banyak diantaranya, yang secara terang- terangan kembali berkecimpung dalam kegiatan politik praktis. Atau bahkan berperan sebagai arsitek untuk sebuah partai lokal di Aceh. Keputusan itu, tentu bukan tanpa alasan, semuanya sudah dibahas secara matang.
"Ulama itu ibarat `bunga' umat saat musim semi. Jika orang sakit melihatnya, kalaupun tidak menyembuhkan, paling tidak akan meringankan (rasa sakit). Jika orang fakir melihatnya, dia merasa menjadi kaya." Tentu ulama demikian, dalam istilah Imam al-Ghazali dalam Al-Ihyâ', adalah ulama akhirat, bukan ulama dunia atau ulama sû. Perumpamaan ini, kiranya klop ketika ulama juga ikut 'berjualan' di wilayah politik praktis. Kehadiran figur ulama dalam sebuah partai cukup ampuh untuk menyedot emosi massa. Untuk itu, tidak heran jika sejumlah fungsionaris partai baik lokal maupun nasional mulai melirik sejumlah ulama kharismatik untuk bergabung di partainya. Sebuah komunitas ulama pun ramai-ramai dibentuk menjelang perhelatan pemilu 2009 mendatang.
Peran serta ulama dalam wilayah politik praktis, banyak dipersoalkan, termasuk juga membingungkan umat yang dalam keseharian telah mendaulatnya sebagai panutan. Selain itu, aspek kefiguran akan sedikit memudar ketika ulama telah menjelma sebagai figur politikus. Sesuatu yang lumrah adanya, mengingat pergerakan partai politik sering kali tidak luput dari praktek kotor berselimut kebebasan demokrasi.
Dalam sistem kapitalis, partai memang harus concern pada kekuasaan. Itu konsekuensi ideologis. Saat pemilu masing-masing partai berlomba untuk menjadi pemenang. Ketika kalah pun, partai tersebut menjelma sebagai oposan dengan harapan di pemilu berikutnya menjadi pemenang dan menjadi partai yang berkuasa. Lazimnya, untuk tujuan itu tidak ada cara yang diharamkan; semua boleh-money politics, konspirasi, dan sebagainya. Di sebagian dayah atau pesantren bahkan ada guyonan, "Kalau di Pesantren pakai Tafsîr Jalâlayn, tapi kalau di partai politik pakai `tafsir jalan lain'."
Melihat kenyataan ini, rakyat juga harus dewasa dan jeli menentukan hak pilihnya. Jangan hanya karena ada tokoh ulama yang bercokol di sebuah partai lalu menjadikannya pilihan. Perlu kejujuran menentukan pilihan termasuk kejujuran menilai ulama, apakah dia ulama yang berpolitik atau politikus yang mendadak menjadi ulama setiap menjelang pemilu.

Post a Comment

Previous Post Next Post