Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pekan lalu melakukan pemindahan lima ekor harimau berasal dari hutan Aceh Selatan dan melepasliarkan 50 ekor orang utan--pongo pycmacus--ke pedalaman hutan Jambi dan Lampung Selatan. Langkah ini dilakukan sebagai upaya penyelamatan habibat hewan dilindungi tersebut juga meminimalisir perilaku harimau yang mulai 'berani' memangsa manusia.
Apa yang dilakukan BKSDA, kemudian mengundang kontroversi berbagai kalangan di Aceh. Pemerintah Aceh, mengaku kecolongan dengan pemindahan tersebut. Bahkan, Irwandi Yusuf selaku gubernur mengaku pemindahan lima ekor si belang sumatera itu--panthera tigris sumatrae tersebut--dapat merusak citra Aceh di mata internasional, karena dianggap tidak becus mengurusi satwa liar itu. "Dampaknya akan sangat besar. Aceh akan dianggap tidak mampu mengurus. Habitat satwa di Aceh juga akan dianggap sudah rusak. Oleh karena itu saya minta harimau-harimau itu dikembalikan ke sini," begitu kata Irwandi.
Benarkah Irwandi atas nama Aceh akan dipermalukan di mata internasional karena tak becus mengurus satwa liar dimaksud? Sepertinya ya, tetapi juga terlalu berlebihan. Bisa jadi, citra Aceh akan rusak di mata internasional, jika Irwandi Yusuf melihat persoalan ini dari sudut pandang politik. Apalagi sudah bukan menjadi rahasia, benturan Aceh dengan pusat Jakarta-- termasuk dengan lembaga pemerintahannya--dalam berbagai hal sering digiring ke ranah politik sehingga semuanya menjadi panas, termasuk saat dihubung-hubungkan dengan 'penjarahan' kekayaan alam Aceh atas nama pemerintah pusat. Padahal, jika pemerintah Aceh cermat, pemindahan ini masih dalam konteks Sumatera dan Indonesia secara umum. Harimau itu memang masih dalam negeri, dalam Sumatera, belum ke luar Indonesia dan keluar dari Aceh. Bahasa politiknya, masih dalam lingkup NKRI!
Translokasi 50 ekor orang utan, termasuk lima si belang asal Aceh ke Provinsi Lampung dan Jambi, tujuannya untuk diliarkan kembali ke habitatnya, yang juga masih kawasan hutan Pulau Sumatera. Begitu setidaknya alasan yang dikemukakan BKSDA. Tetapi, alasan translokasi ini, menurut Kepala Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser, Fauzan Azima, tanpa dasar dan cenderung mengada-ada. Menurutnya, Aceh memiliki dua kawasan hutan yang sangat luas yaitu Kawasan Eksosistem Leuser dengan luas 2,25 juta hektare dan Kawasan hutan Ulu Masen dengan luas 750 ribu hektare. Dua Kawasan hutan ini masih bersambungan sehingga membentuk bentang alam yang sangat luas. Belum lagi kawasan hutan lain yang lebih kecil dan tersebar di banyak lokasi. Di kawasan Eksosistem Leuser saja diperkirakan masih terdapat 110 ekor harimau, belum lagi di Ulu Masen.
Penanganan persoalan harimau Aceh dan hewan liar lainnya yang mulai mengamuk dan membuka 'permusuhan' dengan manusia ini, sejatinya jauh-jauh hari mendapat perhatian serius dari pemerintah Aceh, balai konservasi, dan sejumlah LSM yang peduli. Sehingga Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, dengan tipologi kepemimpinannya yang atraktif dan reaktif itu, tidak akan mencak-mencak lagi karena harga diri sebagai pemimpin nanggroe ini merasa terusik dengan dipindahnya harimau dari hutan Aceh.
Tudingan BKSDA terhadap Pemerintah Aceh yang konon katanya tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi dengan harimau-harimau Aceh selama ini, begitu juga sebaliknya dari Pemerintah Aceh kepada BKSDA, seharusnya tidak terjadi, jika komunikasi yang dibangun selama ini memang benar-benar intens dan efektif terhadap perlindungan hewan liar di hutan Aceh ini. Pemerintah Aceh juga harus sadar dan mawas diri, bahwa habitat hewan liar di nanggroe ini mulai terganggu dengan ulah manusia sehingga mereka harus melakukan 'perlawanan' atas nama binatang. Langkah arif, agar hewan-hewan itu tidak menjatuhkan harga diri dan reputasi kepemimpinan gubernur saat ini, apalagi terjadi gelombang translokasi hewan lainnya di kemudian hari, maka rehabilitasi habitat hewan perlu segera dilakukan, sehingga kembali hidup normal dalam lingkungannya. Selain itu, Pemerintah Aceh juga mesti memanusiakan manusia di nanggroe ini sehingga mereka tidak lagi mengeksploitasi hutan secara semena-mena dengan alasan ekonomi.
foto: M Anshar/Serambi Indonesia