Pekerja Lima Tahunan


Musim pemilu 2009 masih berbilang bulan, tetapi geliat ke arah itu sudah mulai tampak. Di Aceh khususnya, semarak pesta demokrasi itu diramaikan dengan kehadiran partai politik lokal (parlok) sebagai salah satu implementasi dari MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Kehadiran parlok di Aceh menjadi ciri tersendiri perpolitikan berbasis lokal. Partisipasi demokrasi di daerah ini pun cukup tinggi dengan lahirnya sejumlah parlok.
Angin segar kebebasan berdemokrasi telah terhembus dari daerah di ujung barat Indonesia. Banyak kalangan menilai iklim demokrasi akan terus membaik. Tetapi, tidak sedikit kalangan politisi terutama mereka yang lama melanglang buana di ranah ini, merasa khawatir dengan kehadiran parlok di Aceh. Ikon baru perjuangan berdemokrasi yang diperuntukkan bagi masyarakat Aceh ini, dinilai akan mengubur semua cita-cita politis lama dan partai berbasis nasional.
Maklum, sebagai daerah yang diwarnai pergolakan berpuluh-puluh tahun lamanya, partisipasi berdemokrasi di Aceh pernah sempat tertutup. Kebijakan pemerintah pusat untuk Aceh dinilai telah merenggut hajat politik rakyat di kawasan ini dan meninggalkan ketidakpercayaan kepada pemerintah pusat termasuk ketidakpercayaan terhadap perangkat demokrasi itu sendiri, semisal partai. Bukan rahasia, partai-partai yang bercokol puluhan tahun lamanya di negeri ini tidak atau bahkan belum pernah memberikan solusi bagi persoalan Aceh yang saat itu terus bergelora. Rakyat sudah mafhum bahwa partai-partai yang ada saat itu masih saja merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Hadirnya parlok di Aceh, sedikit memberi angin segar bagi masyarakat Aceh yang butuh kepercayaan dan kebijakan politik berbasis rakyat. Tidak heran, jika parlok kemudian tumbuh menjamur menjadi politik alternatif sebagian rakyat Aceh yang jenuh dengan kedustaan politik dari partai berbasis nasional. Bahkan, berkembang sebuah alasan logis ketika seseorang menentukan berjuang di parlok. Mereka menganggap, berjuang dalam partai lokal tidak akan mendapat intervensi dari politikus Jakarta yang selama ini dinilai banyak turut campur atas kebijakan pengurus partai di daerah yang kadang berseberangan.
Harapan baru untuk kebebasan berdemokrasi memang telah lahir dari Aceh, tetapi kenyataan ini pun diikuti dengan gerakan sejumlah politikus lama. Fakta menunjukkan, sejumlah nama politisi nasional yang besar dari Aceh mulai melirik parlok sebagai kendaraan baru untuk pekerjaan lima tahunan ini. Mungkin, merasa tidak ada peluang berkarier di ranah nasional-- karena kepercayaan masyarakat Aceh untuk parlok cukup tinggi--maka parlok menjadi pilihan. Mereka para politisi Aceh yang selama ini berkiprah di Senayan sadar betul akan perkembangan perpolitikan tanah air hari ini. Untuk itu mereka merasa harus membangun pondasi kuat dalam isu kedaerahan dalam konteks Aceh. Kalau tidak, maka rumusan baku itu akan mudah ditebak. Para politisi ini tidak lagi mendapat tempat di hati rakyat, karena Aceh hari ini sedang reinkarnasi ke bentuk kemandirian lokal dalam perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak salah, jika sejumlah politisi yang punya pengalaman di meja wakil rakyat tersebut lebih suka melirik parlok sebagai kendaraan untuk kerja lima tahun ke depan. Maka, bagi mereka yang berlaku seperti ini, dimana wilayah kerja sebagai wakil rakyat hanya sebatas nama, pantas disebut sebagai pencari kerja lima tahunan. Ini sebutan yang pantas karena selama ini banyak di antara wakil rakyat itu menjadikan profesinya itu semata-mata untuk dirinya sendiri dan lupa kepada rakyat yang mengantarkannya ke kursi parlemen. Nah, di pemilu 2009 nanti kita akan banyak menjumpai politisi produk lama dengan kemasan baru. Inilah para pekerja lima tahunan di negeri ini. Semoga tidak salah memilih!

Post a Comment

Previous Post Next Post