Berjilbab tanpa Ragu


Saya merasa harus mengirimkan pesan singkat (SMS) ke nomor ponsel adik saya. Intinya, mengingatkan agar pakaian yang dikenakan ke kampus jangan terlalu ketat (meski dia berkerudung), membentuk lekuk tubuh. Selain, tidak sedap dipandang doktrin agama yang saya yakini selama ini (Islam) mengharuskan setiap keluarga muslim yang memiliki anak perempuan, maka wajib atasnya berpakaian sesuai syariat. Dalam konteks ini maka Jilbab menjadi pilihan dari pesan Alquran tersebut.
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia, semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab--berasal dari kata "jalaba" yang artinya menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad saw adalah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan (mulai kepala hingga kaki) perempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chadar di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 hijriyah.
Arti kata jilbab ketika Alquran diturunkan adalah kain yang menutup dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain yang di pakai lapisan yang kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita. Ini sesuai beberapa arti jilbab seperti dikatakan Imam Alusiy dalam tafsirnya Ruuhul Ma'ani. Sedang Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan; Jilbab berarti kain yang lebih besar ukurannya dari khimar (kerudung). Maka menurutnya jilbab adalah kain yang menutup semua badan.
Dengan pengertian tersebut, jelaslah bahwa jilbab yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan arti atau bentuk yang sudah berubah dari arti asli jilbab itu sendiri. Dan perubahan demikian itu dapat dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya sebab perjalanan waktu dari masa Nabi Muhammad saw sampai sekarang, atau karena jarak antar-tempat dan komunitas masyarakat yang berbeda, tentu pula mempunyai peradaban atau kebudayaan berpakaian yang berbeda.
Namun yang lebih penting ketika kita ingin memahami hukum memakai jilbab adalah kita harus memahami kata jilbab yang di maksudkan syara' agama. Misal, shalat lima kali bisa dikatakan wajib hukumnya kalau diartikan shalat menurut istilah syara', lain halnya bila shalat diartikan atau dimaksudkan dengan berdo'a atau mengayunkan badan seperti arti shalat dari sisi etemologinya.
Tentang jilbab, Allah swt berfirman yang artinya; "Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri- istri orang-orang mukmin. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih muda untuk di kenal karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun dan penyayang" (Q,S.al-Ahzab:59).
Sekarang ini sering terjadi polemik karena tafsiran atas ayat wajibnya berjilbab. Namun dalam kontek Aceh yang melaksanakan syariat Islam, dan pakaian jilbab mendapat legitimasi khusus dalam qanun, tentu harus ada ketegasan tanpa ragu.
Bila berkaca ke negara-negara Eropa, maka kita akan mendapati kenyataan betapa susahnya menjalankan sebuah keyakinan beragama. Di Turki misalnya, para wanita muslim masih tidak diperkenankan memakai jilbab di zona-zona seperti kampus, parlemen, dan wilayah resmi lainya. Padahal di negeri bekas kesultanan Ottoman itu adalah mayoritas Muslim dengan akar Islam yang kental. Kasus teranyar, di Belanda misalnya, para muslimah masih menemukan batu sandungan ketika mereka memutuskan memakai jilbab. Jilbab tidak diperkenankan masuk dalam wilayah seperti kampus dan lembaga pemerintahan. Alhasil, muslimah yang ditakdirkan hidup di barat masih harus berjuang keras meneguhkan keyakinan berjilbab dengan aturan yang berlaku demikian.
Bagaimana di Aceh?
"Syukur" itulah kalimat yang sepatutnya diucapkan para perempuan Aceh yang muslim yang hidup saat ini. Bagaimana tidak, ketika sebagian muslimah di Eropa masih begitu susah memperjuangkan keyakinan, di sini justru diberi peluang cukup besar. Dan tidak akan ada larangan bagi muslimah ketika hendak memakai jilbab.
Tetapi, kenyataan memang tidak demikian. Sebagian muslimah kita malah menggugat atasnama hak asasi manusia. Ketika pakaian diharuskan sesuai syariat, misal dengan berjilbab, anak-anak gadis kita lantang menggugat. Sebuah kenyataan yang cukup ironis, karena kita, termasuk juga perempuan tidak pernah protes kepada polisi ketika diwajibkan pakai helm. Ditilang pun rela, ketika helm tak terpakai di kepala. Tetapi, perempuan kita protes kepada petugas WH dan dinas syariat juga kepada ustadz-ustadz yang menyuruh berjilbab. Padahal di negeri ini, Aceh, berjilbab bukan sesuatu yang menakutkan, karena memang dilindungi undang-undang.
Maka tunggu apa lagi? Kenapa perempuan Aceh ragu melaksanakan keyakinan agamanya, ketika saudara kita di belahan negeri lainnya berjilbab dengan penuh rasa takut, tapi kita disini mestinya bersyukur karena justru diberi kesempatan seluas-luasnya.

Artikel ini dimuat juga di Rubrik Opini harian Serambi Indonesia, 11 Juli 2008

Post a Comment

Previous Post Next Post