Ketika pemerintah resmi memutuskan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi demonstrasi menentang kebijakan tersebut terjadi di mana-mana. Hampir seluruh wilayah yang merupakan bagian dari negeri ini bergejolak, rakyat marah atas kebijakan pemerintah yang dinilai belum dan bahkan semakin menyengsarakan rakyat.
Dari Papua, Atambua, Jawa, hingga Tanjungpura, setiap harinya dihiasi aksi kekesalan rakyat. Di Jakarta, elemen mahasiswa setiap hari turun ke jalan, meski jauh berbeda dengan peristiwa Mei 1998, tetapi aksi ini cukup membuat pemerintah ekstra hati-hati. Ribuan personil Polri diturunkan mengawal demonstrasi mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah tersebut. Hingga saat ini, ketika kenaikan harga BBM sudah menjadi kenyataan, bias-bias demonstrasi masih terjadi dalam skala kecil di sejumlah daerah.
Tetapi, sadar atau tidak, kita lupa memperhatikan negeri sendiri. Saat mata kita terpana atas aksi mahasiswa di Papua hingga Jakarta, di Aceh malah sepi-sepi saja. Kalaupun ada aksi demo menentang kenaikan BBM, hanya terjadi beberap hari saja. Setelah itu redup tak terdengar lagi. Bahkan mahasiswa dua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama di pusat provinsi yaitu Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, sejak digulirkannya rencana kenaikan harga BBM malah tidak terdengar protes dan mencak-mencak dalam demonstrasi sebagaimana ditontonkan mahasiswa di Pulau Jawa. Padahal secara logika, rakyat Aceh seharusnya menjerit dan menentang habis-habisan rencana kenaikan itu, mengingat provinsi ini baru saja bangkit dari keterpurukan tsunami dan konflik.
Selorohan seorang tukang nasi lontong di kawasan Darussalam, Banda Aceh, mungkin ada benarnya. Sebut saja namanya Hendra. Suatu ketika dia mengajukan sebuah pertanyaan, "Kenapa ya di Aceh nggak ada demo besar-besaran menolak kenaikan BBM," katanya, yang saat itu sedang asyik melayani pembeli. Pertanyaannya itu, juga dijawab dengan sendirinya, "Ini Aceh Bung! Orang Aceh memang kaya raya, lihat saja setelah tsunami jumlah kendaraan semakin meningkat," katanya, menjawab pertanyaannya sendiri.
Logika Hendra, bisa benar adanya atau bahkan sedikit dicocok- cocokan dengan keadaan Aceh. Tetapi, kemudian logika Hendra pun benar pula adanya. Coba perhatikan, ketika pemerintah membagikan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM, maka kebijakan itu pun kemudian disambut dengan antrean panjang saling desak-desakan ribuan orang miskin di loket-loket Kantor Pos yang disediakan. Tetapi, apa yang kemudian terjadi di Aceh? Hari pertama pembagian dana BLT malah sepi-sepi saja. Hanya beberapa orang yang terlihat mengambil uang BLT di Kantor Pos. Hari pertama, Kamis (29/5), sejak dibuka loket pada pukul 07.30 hingga berakhir 15.00, baru ada 37 KK Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang mengambil pengganti subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) itu. Kondisi yang sangat jauh berbeda dengan penerima BLT di Jawa dan provinsi lainya di Indonesia yang selalu terlihat berdesak-desakan, bahkan hingga pingsan demi uang BLT yang jumlahnya tidak sebanding dengan derita rakyat akibat kenaikan harga BBM.
Kembali ke selorohnya pedagang nasi lontong di Darussalam, "Ini Aceh Bung! Orang Aceh memang kaya raya". Benarkah? Atau punya sifat gengsi untuk ambil BLT di Kantor Pos karena akan dikategorikan rakyat miskin dan terpampang di koran.
Miskin atau tidak, memang soal mental. Seseorang acap kali merasa miskin, padahal di rumah ada kulkas, sepeda motor, dan ada televisi. Status kaya, juga soal mental. Syukur kalau orang Aceh saat ini sudah memiliki mental orang kaya, sehingga tidak perlu mengemis dan meminta-minta. Karena Tuhan yang di atas dan Nabi kita pun tidak menaruh hormat kepada peminta-minta.
Ini Aceh Bung! Ini negeri yang berbeda dengan daerah lainnya di tanah air. Ini Aceh Bung!, negeri yang boleh mengatur dirinya sendiri, punya partai politik lokal atau tidak ada demo ketika harga BBM naik. Aceh adalah negeri yang memang selalu tampil berbeda dengan provinsi mana pun di republik ini.