Dari Aceh Menolak Valentine


Sekitar 20 pelajar SMA di Banda Aceh, Rabu (13/2) siang menggelar aksi simpatik menolak perayaan Valentine Day di sekitar bundaran Simpang Lima. Para pelajar itu, tergabung dalam komunitas yang mereka beri nama Muslim TeeNager Community. Ini adalah sebuah perkumpulan pelajar yang mengusung nilai-nilai Islam di kalangan generasi muda. Terlihat sebuah semangat yang terpancar dari wajah-wajah belia pelajar SMU dalam upaya mengambil peran menyadarkan anak bangsa untuk tidak latah dengan arus budaya barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kultur Aceh dan agama Islam.
Sebuah gerakan pelajar yang perlu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan di Kota Banda Aceh. Mereka tidak mengecam, mereka tidak melakukan tindakan anarkis menolak Valentine, tetapi mereka memberikan informasi yang utuh dari peringatan Valetine yang seharusnya tidak dirayakan oleh kawula muda di negeri ini. Selebaran berisi informasi asal usul Valentine dan alasan kenapa generasi muda di Aceh wajib menolak perayaan itu, disuguhkan dengan utuh dalam aksi simpatik mereka di jalanan Banda Aceh sepanjang Rabu siang itu.
Budaya Valentine Day, memang sudah menerobos ke ranah paling bawah masyarakat kita. Di Aceh, perayaan Valentine Day tahun lalu, juga dilakukan sekelompok anak muda, bahkan para pekerja dari luar Aceh (juga pemuda-pemudi Aceh) yang bekerja di lembaga-lembaga rehab dan rekons, turut pula merayakannya di salah satu kantor distrik mereka.
Ada banyak versi tentang asal usul Valentine Day, salah satunya diambil dari nama Uskup Valentine seorang Santo (orang yang dianggap suci untuk agama Katolik). Uskup Valentine menggantikan dewa Lupernicus sebagai dewa kesuburan. Pada zamanya itu, persembahan untuk Lupernicus diselingi penarikan undian dalam rangka mencari pasangan, dan bebas melakukan hubungan seks. Pada masa Kaisar Constantian (280-337) upacara itu kembali dibudayakan, sejumlah pesan cinta disampaikan oleh para gadis, diletakkan dalam jambangan kemudian diambil oleh para pemudanya. Mereka kemudian berpasangan, berdansa, dan diakhiri tidur bersama alias zina. Oleh Paus Galasium I seorang pemimpin dewan gereja, pada tahun 494 M acara itu diubah dengan bentuk rutinitas pembersihan dosa dan mengubah acara Lupercalia yang biasa digelar 15 Ferbruari menjadi 14 Februari dan ditetapkan sebagai Valentine Day.
Ada dua dasar pijakan kenapa Valentine Day tidak harus diikuti oleh mayoritas generasi muda Islam, termasuk di Aceh. Pertama, Valentine bukan ajaran dari risalah suci Nabi, tetapi budaya Lupercalia. Kedua, sistem nilai yang terkandung dalam Valentine Day jelas bertentangan dengan sistem tata nilai Islam. Islam tidak membolehkan sistem tata gaul bebas antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, sangat tidak bisa diterima jika Valentine Day diabadikan sebagai simbolisasi keagungan sebuah cinta, namun dalam realitasnya justru mengangkangi dan menodai makna kesucian cinta.
Gerakan menolak Valentine Day yang digaungkan pelajar SMA di Banda Aceh, Rabu (13/2) tersebut, kemudian ditetapkan menjadi sebuah gerakan menolak Valentine Day sedunia. Apa yang dilakukan pelajar Banda Aceh itu, merupakan sebuah kontribusi besar bagi pembinaan moral generasi muda Aceh.
Setidaknya, generasi muda kita akan lebih sadar bahwa mereka tidak harus latah dengan budaya yang bukan budayanya. Generasi muda kita, tentunya harus peka bahwa dari budayanya sendiri (budaya Aceh) memiliki nilai-nilai luhur sebagai pedoman hidup. Bukankah, umat ini tidak sering diajak untuk murtad dari agamanya, tetapi selalu digiring untuk mengikuti millah (kebiasaan) yang tidak seharusnya menjadi kebiasaan yang diikuti oleh generasi muda Aceh. Wallahu'alam
---
Foto : Gerakan Anti Valentine Day di Banda Aceh/M Anshar-SERAMBI INDONESIA

1 Comments

Previous Post Next Post