Ketika Ide tak Lagi Sejalan


Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, merupakan babak baru bagi sejarah Aceh. Dari titik ini, semua hal ikhwal terkait Aceh ke depan akan dipetakan, termasuk bagaimana para mantan kombatan GAM memainkan peran dalam suasana Aceh baru yang penuh damai.
Keputusan memilih jalan damai yang disepakati GAM, adalah satu ide kreatif yang sebelumnya dirasa tidak mungkin, dalam rentang panjang sejarah Aceh yang penuh pergolakan. GAM, telah mengubur cita-cita merdeka dalam arti memisahkan diri dari Indonesia. Tetapi, satu wujud perjuangan era baru mulai mereka gulirkan dalam ikatan NKRI. Satu sikap kooperatif telah sama-sama dimahfumi untuk membangun Aceh yang lebih bermartabat, apalagi setelah bencana maha dahsyat tsunami yang memporak-porandakan Aceh.
Dalam perjalanannya, proses transformasi GAM ke wilayah politik sebagaimana dikehendaki dalam MoU Helsinki, mengalami banyak babak yang masing-masing episode menampilkan sisi- sisi menarik dari organisasi tersebut. Menjelang pilkada 11 Desember 2006, misalnya, suara GAM, meski ditutup-tutupi, terpecah dalam dua kubu besar. Semua unsur GAM, saat itu, yang merasa paling GAM, mengklaim mereka lah yang benar-benar GAM. Bahkan sebuah pesan singkat (SMS) dari satu kubu sempat beredar, bahwa tokoh GAM lain yang maju dalam pilkada adalah mereka yang berganti baju (dari partai nasional) dan memanfaatkan situasi dengan menggunakan isu GAM yang saat itu sedang naik daun.
Perseteruan pascapilkada pun terus berlanjut, tentu dengan persoalan yang berbeda. Meskipun ke publik sering menampakkan kesan adanya kekompakan, tetapi perpecahan di tubuh mereka tak bisa lagi ditutupi. Keputusan sekelompok GAM memboikot pertemuan dengan APRC di Sekretariat Forbes Damai, misalnya, ternyata tidak sepenuhnya diamini petinggi GAM lainnya. Enam orang tokoh GAM yang terlibat langsung dalam penandatanganan MoU Helsinki, memilih hadir dalam pertemuan tersebut dengan alasan demi keberlangsungan damai Aceh.
Sementara, sejumlah anggota GAM yang ikut dalam pertemuan di Makasar (Roud Table II) mengatakan, mereka lah yang sebenarnya mewakili unsur GAM dalam berbagai pengambilan keputusan. Dan mereka menilai, apa pun yang akan diputuskan pada pertemuan dengan APRC itu, sama sekali tidak dan bukan mewakili suara GAM. Tetapi, siapa pun tidak bisa menyangkal bahwa keenam orang anggota GAM yang hadir dalam pertemuan di Forbes Damai memang benar-benar para petinggi GAM yang masih memiliki pengaruh dan peran di kalangan mereka. Melihat ke belakang, perjalanan organisasi yang pernah membuka front dengan Jakarta ini memang selalu diwarnai ketidaksamaan pandangan. Pada pertengahan 1994, misalnya, organisasi ini sempat pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasuk Hasan di Tiro. Perbedaan utama antara dua faksi GAM, saat itu ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan (jika Aceh benar-benar merdeka).
Hasan Tiro lebih suka Aceh sebagai sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Hasan Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di seluruh Aceh.
Saat ini, tarik-menarik kepentingan di tubuh organisasi tersebut terus terjadi. Jika dicermati, konflik internal dalam tubuh GAM juga merembes hingga ke sejumlah wilayah. Di beberapa tempat misalnya, para mantan kombatan tidak lagi kompak satu sama lain. Faktor keberuntungan yang tidak merata pascadamai, menjadi awal dari keretakan dalam tubuh GAM. Ada anggota GAM dengan sangat mudah mendapat fasilitas dan berbagai macam proyek membangun kembali Aceh pascatsunami, tetapi ada juga yang terengah-engah mencari sesuap nasi di alam damai saat ini.
Adanya beragam macam kepentingan dalam sebuah pergerakan, memang sesuatu hal yang wajar. Ini pun jauh-jauh hari sudah dikemukakan salah seorang anggota GAM, T Kamaruzzaman, dalam sebuah pidato di Konferensi Internasionl Kawasan Aceh dan Hindia, 2007 lalu. Menurutnya, proses transformasi dari sebuah gerakan perang ke wilayah politik tidak selamanya mulus. Akan banyak hal baru yang terjadi, termasuk peran GAM dalam kancah politik. Bisa saja mereka sukses di jalur ini, juga sangat terbuka peluang terjerembab karena ulahnya sendiri. Wallahu 'alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post