Sebanyak 241 calon pejabat baru di lingkungan Pemerintah Provinsi NAD sejak Senin (14/1) hingga Rabu (23/1) mengikuti serangkaian tes lanjutan hingga Rabu (23/1) lalu. Mereka adalah orang-orang terpilih secara administrasi yang berlaga untuk mendapatkan kursi jabatan di pemerintahan yang dipimpin Irwandi Yusuf. Proses yang mereka lalui tersebut, merupakan tahapan seterusnya setelah mereka dinyatakan lulus administrasi kelayakan calon pejabat.
Ada beberapa tahapan tes yang mesti dijalani para calon pejabat baru itu. Antara lain, potensi akademik (reasoning test group), tes LGD (leader less group discussion), dan wawancara (interview).
Pola ini memang terobosan baru yang dilakukan Gubernur Aceh, setelah sejak lama negeri ini 'biasa' dengan sistem lama yang mengandalkan kedekatan (KKN), sehingga pejabat yang dipilih itu kerap tidak mampu menjalankan amanahnya.
Dulu, untuk menjadi seorang kepala dinas, setidaknya mesti ada bisikan jitu dari kelompok kepentingan atau--jika kocek tebal--tinggal atur saja kesepakatan, hasilnya cukup menggembirakan, bisa jadi pejabat.
Pola yang diterapkan Irwandi dalam menjaring calon pejabat baru itu, menunjukan adanya upaya serius memberantas perilaku nepotisme yang sudah mengakar lama. Cara inipun, perlahan namun pasti dapat menghapus persaingan tidak sehat dalam perebutan kursi jabatan.
Merujuk aturan undang-undang, pola yang dilakukan Gubernur memang tidak dengan jelas diatur. Tetapi, kebijakan itu merupakan wewenang Gubernur untuk memilih orang-orang terbaik di sekitarnya yang akan bersama selama Irwandi menjabat sebagai Gubernur Aceh.
Dengan pola ini, setidaknya Irwandi telah meletakan pondasi awal bagi terwujudnya roda pemerintahan yang bersih sebagaimana yang ditawarkannya dalam kampanyenya, ketika Irwandi bersama Muhammad Nazar maju sebagai calon gubernur dari kalangan independen. Tentu, akan menjadi contoh bagi daerah lain dalam tata kelola pemerintahan yang bersih.
Dalam jangka panjang, pola seperti ini akan melahirkan jiwa kompetitif di kalangan masyarakat terpelajar di Aceh. Penyiapan sumber daya manusia (SDM) dengan sendirinya akan lahir secara alamiah, mengingat sistem yang dibangun mengharuskan semua orang cakap (terampil) dalam berbagai hal. Ini yang selama ini tidak atau belum pernah dilakukan secara maksimal, sehingga perbaikan arah pembangunan dari sebuah rezim pemerintahan sering tidak tuntas untuk mensejahterakan rakyat.
Jika ini terlaksana dengan maksimal, dimana pejabat-pejabat baru yang terpilih nantinya merupakan hasil seleksi ketat dari berbagai dimensi kemampuan, baik secara akademik maupun pengalaman lapangan---termasuk kecakapan dalam memainkan peran kepememimpin--maka harapan membentuk pemerintahan yang bersih akan segera terwujud. Dengan demikian, cita-cita mengangkat keterpurukan rakyat dari berbagai lini bisa terpenuhi.
Tetapi, Gubernur pun jangan lupa dan tidak menutup mata. Bahwa di sekitar kita ada orang-orang yang terampil di bidangnya, piawai memimpin sebuah lembaga. Hanya karena tidak 'gila' jabatan, maka tidak masuk bursa pencalonan. Untuk yang seperti ini, mengutip pendapat pengamat hukum Universitas Syiahkuala, Mawardi Ismail SH M Hum, Gubernur perlu juga memakai sistem Head Hunter seperti yang umum berlaku dalam dunia usaha (korporasi). Thus, jika nanti dalam proses penjaringan tersebut, tidak ada yang layak untuk satu posisi tertentu secara akademik maupun aturan formal lainya, maka jangan memaksakan mengangkat yang kurang 'buruk' dari yang 'buruk'.
Semoga saja, proses pemilihan calon pejabat baru di lingkungan provinsi ini tidak salah pilih. Sehingga, nantinya mereka yang terpilih benar-benar yang terbaik diantara yang baik.*
Ada beberapa tahapan tes yang mesti dijalani para calon pejabat baru itu. Antara lain, potensi akademik (reasoning test group), tes LGD (leader less group discussion), dan wawancara (interview).
Pola ini memang terobosan baru yang dilakukan Gubernur Aceh, setelah sejak lama negeri ini 'biasa' dengan sistem lama yang mengandalkan kedekatan (KKN), sehingga pejabat yang dipilih itu kerap tidak mampu menjalankan amanahnya.
Dulu, untuk menjadi seorang kepala dinas, setidaknya mesti ada bisikan jitu dari kelompok kepentingan atau--jika kocek tebal--tinggal atur saja kesepakatan, hasilnya cukup menggembirakan, bisa jadi pejabat.
Pola yang diterapkan Irwandi dalam menjaring calon pejabat baru itu, menunjukan adanya upaya serius memberantas perilaku nepotisme yang sudah mengakar lama. Cara inipun, perlahan namun pasti dapat menghapus persaingan tidak sehat dalam perebutan kursi jabatan.
Merujuk aturan undang-undang, pola yang dilakukan Gubernur memang tidak dengan jelas diatur. Tetapi, kebijakan itu merupakan wewenang Gubernur untuk memilih orang-orang terbaik di sekitarnya yang akan bersama selama Irwandi menjabat sebagai Gubernur Aceh.
Dengan pola ini, setidaknya Irwandi telah meletakan pondasi awal bagi terwujudnya roda pemerintahan yang bersih sebagaimana yang ditawarkannya dalam kampanyenya, ketika Irwandi bersama Muhammad Nazar maju sebagai calon gubernur dari kalangan independen. Tentu, akan menjadi contoh bagi daerah lain dalam tata kelola pemerintahan yang bersih.
Dalam jangka panjang, pola seperti ini akan melahirkan jiwa kompetitif di kalangan masyarakat terpelajar di Aceh. Penyiapan sumber daya manusia (SDM) dengan sendirinya akan lahir secara alamiah, mengingat sistem yang dibangun mengharuskan semua orang cakap (terampil) dalam berbagai hal. Ini yang selama ini tidak atau belum pernah dilakukan secara maksimal, sehingga perbaikan arah pembangunan dari sebuah rezim pemerintahan sering tidak tuntas untuk mensejahterakan rakyat.
Jika ini terlaksana dengan maksimal, dimana pejabat-pejabat baru yang terpilih nantinya merupakan hasil seleksi ketat dari berbagai dimensi kemampuan, baik secara akademik maupun pengalaman lapangan---termasuk kecakapan dalam memainkan peran kepememimpin--maka harapan membentuk pemerintahan yang bersih akan segera terwujud. Dengan demikian, cita-cita mengangkat keterpurukan rakyat dari berbagai lini bisa terpenuhi.
Tetapi, Gubernur pun jangan lupa dan tidak menutup mata. Bahwa di sekitar kita ada orang-orang yang terampil di bidangnya, piawai memimpin sebuah lembaga. Hanya karena tidak 'gila' jabatan, maka tidak masuk bursa pencalonan. Untuk yang seperti ini, mengutip pendapat pengamat hukum Universitas Syiahkuala, Mawardi Ismail SH M Hum, Gubernur perlu juga memakai sistem Head Hunter seperti yang umum berlaku dalam dunia usaha (korporasi). Thus, jika nanti dalam proses penjaringan tersebut, tidak ada yang layak untuk satu posisi tertentu secara akademik maupun aturan formal lainya, maka jangan memaksakan mengangkat yang kurang 'buruk' dari yang 'buruk'.
Semoga saja, proses pemilihan calon pejabat baru di lingkungan provinsi ini tidak salah pilih. Sehingga, nantinya mereka yang terpilih benar-benar yang terbaik diantara yang baik.*