Makna Selembar Bendera


Selembar kain merah bergaris hitam putih, dengan lambang bulan bintang itu, masih terus tersandung masalah. Meski haluan perjuangan sudah berubah, tuntutan kemerdekaan 'terpaksa' dibenamkan untuk sebuah cita-cita bersama--perdamaian dan kemakmuran bagi penduduk nanggroe--tetapi eksistensi kain merah itu masih ingin dijelmakan ke bentuk lain. Dia ditabalkan secara resmi sebagai lambang sebuah partai lokal, kendaraan politiknya para mantan kombatan GAM.
Tetapi kemudian langkah itu menuai protes. Sejumlah elite politik--terutama di Jakarta--gerah atas deklarasi Partai GAM dengan lambang sama persis dengan bendera yang mereka pakai ketika membuka front dengan Jakarta. Hingga saat ini, dia (bendera GAM) masih menjadi polemik ketika menjelma menjadi lambang partai.
Sepekan lalu, bendera ini pun kembali dipersoal. Komandan Kodim 0103/Aceh Utara Letnan Kolonel Inf Yogi Gunawan usai penutupan apel Dansat, Danrem, dan Dandim di Mabes AD, di Jalan Veteran, Jakarta, Jumat (30/11) lalu meminta pihak Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk bisa menahan diri agar tidak mengibarkan bendera GAM pada peringatan hari ulang tahunnya, 4 Desember 2007. Ini pun kemudian diamini oleh mantan Panglima TNA, Muzakkir Manaf yang mulai kooperatif. Muzakkir menyatakan komitmennya untuk tidak mengibarkan bendera GAM pada peringatan milad GAM bahkan Muzakir meminta seluruh jajaran KPA cukup berdoa saja.
Memang, bendera GAM, tidak bisa sembarang berkibar di Aceh, termasuk pada 4 Desember ketika hari lahirnya diperingati. Semuanya menjadi tidak boleh untuk selembar kain bendera itu, karena identitas untuk negeri yang menghampar luas ini sudah jelas dan telah final, Merah Putih.
Bendera lain yang melambangkan sebuah kewujudan atas satu identitas, akan tersandung masalah jika keukeuh (tetap) ingin mewujudkan eksistensinya. Selembar kain, memang kelihatannya sepele, tetapi kenyataannya tidak sesepele itu. Dia bisa menggelorakan semangat perjuangan, dia bisa meminta nyawa ketika diperlakukan dengan tidak 'sewajarnya'.
Bendera menjadi begitu sakral ketika telah final menjadi identitas sebuah bangsa. Di Aceh, pro-kontra bendera GAM sebagai identitas masih saja berlangsung. Sang empunya selembar kain itu--rupanya--belum ingin kehilangan begitu saja atas identitas yang mereka lahirkan sejak 1976. Boleh saja senjata tidak lagi di tangan, boleh saja ramai-ramai turun gunung kembali menjadi masyarakat biasa, tetapi tidak dulu untuk yang satu itu, bendera.
Biarkan dia wujud dan menjelma ke bentuk lain, dia akan tetap abadi sebagai jatidiri yang pernah hadir di serambi ini. Sikap ini pun terus terpatri, sehingga kerap kali Jakarta meminta GAM untuk menghargai semangat damai dan mentaati MoU. Namun, kemudian MoU pun ditafsir lagi sehingga kehendak itu mendapat pembenaran dalam MoU. Menurut versi GAM, tidak ada satu poin pun yang menyuruh mereka membubarkan diri sebagai organisasi, termasuk pemakaian simbol-simbol GAM. Yang tidak boleh versi GAM, adalah lambang militer.
Lalu, apakah arti sebuah bendera sebenarnya? Goenawan Moehammad dalam catatan pinggirnya di Majalah Tempo Edisi.39/XXXVI/19-25 November 2007 menulis, bendera adalah selembar kain yang diberi harga untuk menandai "kami" yang "bukan-mereka" dan "mereka" yang "bukan-kami". Bendera adalah saksi sejarah bahwa identitasku punya arti karena ada perbatasan dengan "dia" yang di luar diriku. Dalam arti itu, yang di luar itu jugalah yang membentuk diriku, hingga "aku" jadi sebuah totalitas yang seakan-akan utuh. Tapi sementara itu, yang di luar itu pula yang selalu mengancam akan melenyapkan aku.
Tetapi, apakah si "aku" di Aceh yang pernah menjadi identitas perlawanan ini merasa terancam oleh si "dia" yang di luar diriku. Sementara si "dia" juga terikat oleh kesepakatan yang telah disepakati bersama 15 Agustus 2005. Pun, si "dia" merasa punya wewenang atas negeri ini, karena semuanya sudah final dalam ke"aku"an, Merah Putih.

Post a Comment

Previous Post Next Post