Jangan Ngebut, Kasihan Si Agam

"Bang, jangan ngebut, kasihan Si Agam," tiba-tiba temanku mengingatkan seraya menepuk pundakku, ketika laju sepeda motor yang saya kendarai semakin kencang di jalanan Kota Banda Aceh. Saya pun mengalah, kecepatan sepeda motorku perlahan saya perlambat hingga kembali melaju normal di kilometer 40-50 per jam. Meski saya terkadang harus kembali tergoda untuk menyalip kendaraan lain, agar tidak atau jangan berada di depanku.
Ya, dua bulan lalu, memang statusku sudah berubah. Sejak kelahiran anak pertamaku laki-laki, kawan-kawan di kantor banyak memberi nasihat. Katanya, sekarang kamu (saya) tidak lagi sendiri, saya sudah menjadi ayah dari seorang anak. Dalam tubuh anakku, mengalir darah sunda dari saya dan darah Aceh dari ibunya. Menurut adat kebiasaan orang Aceh, sebutan untuk anak laki-laki adalah Agam dan perempuan biasa dipanggil Inong, atau Cut. Seorang perempuan akan memanggil kakak laki-lakinya dengan panggilan Cut Bang atau Cut Kak untuk kakak perempuan.
Kawanku mengingatkan, sekarang saya harus sudah mulai lebih dewasa menjadi ayah bagi Si Agam. Sejak kamu melihat anakmu lahir untuk pertama kalinya--kata temanku--maka saat itulah tangungjawab sebagai ayah sudah melekat padaku. Mau menjadi anak baik, sholeh atau tidak sholeh, menjadi Nasrani atau Yahudi, semuanya ada dalam kewenanganmu. Maka--masih kata temanku--baik-baiklah mendidikanya, karena Si Agam adalah amanah Allah Swt yang harus dijaga agar dapat kembali ke pangkuan Nya dikemudian hari dengan keadaan suci bersih, sebagai muslim.
Soal sering kebut-kebutan di jalan raya, sudah saatnya saya tinggalkan. Karena kata teman saya, yang sudah dikaruniayi empat anak, seorang ayah harus kasihan sama anak dan istri yang otomatis harus dan ikut menanggung derita ketika sesuatu terjadi di jalanan. Saat seorang ayah, mendapat kecelakaan—mudah-mudah tidak terjadi--di jalan raya, maka istri dan anak-anak akan menjadi repot. Maka dari itu, kata temanku, mulai saat ini saya harus hati-hati dalam berbagai hal, terutama harus sudah mulai meninggalkan kebiasaan waktu remaja yang masih melekat hingga saat ini, ngebut di jalanan.
Kupikir-pikir, ada benarnya dan memang benar adanya, apa yang dinasihatkan kawanku itu. Si Agam dan ibunya, setiap hari menunggu kepulanganku di rumah, makanya saat berangkat, istriku selalu berpesan, “Bang, hati-hati di jalan, jangan ngebut,”. Terkadang istri saya sering menggoda agar saya cepat pulang dari kantor, katanya Si Agam menangis ingat ayahnya. Maklum, Si Agam yang baru berusia dua bulan sejak dia dilahirkan, hanya punya waktu sedikit untuk bercengkrama denganku. Si Agam punya waktu keberuntungan, merasakan kehangatan pelukanku di akhir pekan, ketika saya dapat jatah libur kantor. Hari-hari biasa, Si Agam bertemu saya pagi hari sebelum saya berangkat kerja, saya selalu menyempatkan diri mengecup keningnya tanda cinta. Sering pula, saya dendangkan hariring atau kawih (nyanyian) sunda. Sengaja saya lakukan, agar Si Agam juga tahu ditubuhnya mengalir darah Pasundan, meski dia hidup dan akan dibesarkan di Aceh, di negerinya Sultan Iskandar Muda.
Si Agam akan kembali bertemu saya ketika Kota Banda Aceh mulai gelap. Saat itu, ketika Si Agam masih terjaga. Segera kuraih, kutimang-timang dan dia pun merasakan kehangatan cinta yang kuberikan dengan tulus. Si Agam baru akan memejamkan matanya, ketika kubacakan surat-surat pendek dari Alquran. Saat matanya terpejam sempurna, Si Agam kupindahkan ke ranjang tempatnya tidur.
Sambil kutatap tubuh Si Agam, terlintas kemudian, saya ini adalah ayahnya yang harus memberi teladan baik bagi Si Agam. Si Agam harus tumbuh menjadi muslim sempurna yang berakhlak mulia dan menjadi pejuang setia untuk membela agamanya. Si Agam tidak boleh mengikut jejak dan kebiasaan ‘jelek’ ayahnya. Si Agam jangan jadi tukang kebut-kebutan di jalanan.

Post a Comment

Previous Post Next Post