Hak Korban Konflik



MEMORANDUM of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki 15 Agustus 2005 lalu, terwujud--salah satunya--karena masing-masing pihak sadar bahwa konflik di Aceh sudah begitu banyak menelan korban jiwa.
Gagasan cerdas yang berujung pada perdamaian saat ini, semata-mata karena untuk kepentingan masyarakat Aceh yang menjadi korban perseteruan Jakarta-Aceh selama hampir 30 tahun. MoU lahir semata-mata untuk mengakhiri bertambahnya korban, apalagi setelah eskalasi konflik Aceh diperparah dengan musibah tsunami, 26 Desember 2004.
Sejatinya saat ini, ketika proses damai telah memasuki usia dua tahun, korban konflik sudah mendapat hak-hak mereka yang lama dikebiri oleh keadaan, karena tujuan perdamaian, seperti dalam gagasan semula, diperuntukan sepenuhnya bagi kelangsungan hidup masyarakat Aceh yang nota bene merupakan korban dari perseteruan saat itu. Para korban konflik atau ahli warisnya berhak meminta pertanggunjawaban atas nyawa keluarga mereka yang hilang ketika moncong-moncong senjata menjadi sebuah kekuatan memaksakan kehendak saat itu.
Prof Dr Syahrizal Abbas MA, Guru Besar pada Fakultas Syariah IAIN Ar Raniry, dalam sebuah diskusi pada seminar dan peluncuran hasil penelitian Kebenaran dan Perdamaian Aceh, Selasa (19/11) lalu di Hermes Palace menyatakan, manusia sebagai suatu entitas kemakhlukan mempunyai hak asasi sebagai anugerah Tuhan Yang Mahas Esa. Manusia memiliki hak asasi untuk hidup, memiliki harta, hidup aman, dan terlindungi dari berbagai ancaman kekerasan. Dengan demikian, seseorang manusia tidak dibenarkan untuk mencabut hak asasi yang dimiliki seseorang sebagai anugerah Tuhan, tanpa alasan apapun. Oleh karenanya jika seseorang melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain--seperti terjadi di Aceh-- maka orang itu perlu mempertanggungjawabkan tindakannya.
Membiarkan perilaku kekerasan masa lalu, tanpa mengetahui penyebab, pelaku kekerasan, sehingga korban atau ahli waris tidak mengetahui pelakunya, menurut Prof Dr Syahrizal Abbas, hal itu bertentangan dengan moral. Korban atau ahli waris memiliki hak untuk mengetahui pelaku tindak kekerasan, alasan-alasan dan berbagai bentuk pertanggungjawaban pelaku atas segala tindakannya.
Dalam konteks siyasah (politik Islam, negara berkewajiban bertanggungjawab atas kebijakan yang merugikan rakyatnya. Pertanggungjawaban itu melekat pada aparatur negara yang mengemban amanah dari negara. Pemimpin negara sebagai Waliyul Amri (bertanggung jawab terhadap warga negara) berperan besar dalam memberikan perlindungan, keselamatan, jaminan hidup, dan bertanggungjawab terhadap segala bentuk kepentingan warganya. Jika amanah ini dilalaikan, maka negara telah mengingkarai fungsinya sebagai wali.
Karenanya, setelah perdamaian terwujud di Aceh, seharusnya korban konflik mengetahui arah proses perdamaian yang memenuhi unsur-unsur keadilan bagi mereka. Korban konflik berhak atas pemenuhan rasa keadilan yang seharusnya diberikan oleh pemangku kepentingan dalam pemerintahan saat ini.
Desakan agar segera dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh juga terus disuarakan. Selain mandat MoU Helsinki, lembaga ini juga akan menjadi titian mencari keadilan yang selama ini terkubur oleh keadaan.
Salah satu indikator suksesnya perdamaian di Aceh, bisa diukur dari sejauh mana tuntutan atas hak korban konflik dapat segera terwujud. Korban konflik adalah bagian terpenting yang seharusnya mendapat perhatian utama. Selain itu, proses rekonsiliasi di Aceh melalui KKR yang selama ini terus dikampanyekan berbagai LSM dan lapisan masyarakat, kiranya tidak hanya sebagai tuntutan-tuntutan politik semata. Namun diharapkan dapat memenuhi hak-hak para korban, sehingga proses rekonsiliasi yang berujung pada pemenuhan hak-hak korban konflik di Aceh dapat segera terwujud dan diterima oleh semua pihak

Post a Comment

Previous Post Next Post