Menjelang akhir tahun 2007 ini, masyarakat korban tsunami di beberapa kawasan termasuk di Aceh, terutama mereka yang hingga kini belum mendapat rumah bantuan, kembali resah. Dan itu menjadi satu kewajaran, betapa tidak, tiga tahun menunggu untuk sebuah rumah bantuan bukanlah waktu yang sebentar.
Keadaan ini, sepatutnya tidak terjadi bagi korban gempa dan tsunami di Aceh. Tetapi, kenyataan seperti itu adanya, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias sepertinya tidak begitu peka terhadap persoalan yang sedang dirasakan korban tsunami saat ini. Padahal lembaga ini dibentuk, karena ada korban tsunami yang harus segera ditolong, yang harus segera diberi tempat layak. Maka, jangan salahkan rakyat, ketika mereka kembali berdemo ramai-ramai ke kantor BRR di kawasan Luengbata, Banda Aceh.
Sejak tahun 2007, sudah puluhan kali demo digelar masyarakat korban tsunami. Yang terbesar, dan semuanya menjadi terperangah ketika demo itu berakhir rusuh saat korban tsunami bersama Persatuan Warga Barak (PORAK) menuntut hak kepada BRR. Seharusnya, hal itu menjadi catatan bagi BRR, betapa lembaga ini belum begitu maksimal memulihkan kembali korban tsunami di Aceh.
Pasang surut demo pun terus terjadi, demo berulangkali muncul dan menyuarakan tuntutan yang sama ke kantor BRR. Dalam momen itu pula tidak pernah ada kesepakatan yang bisa didapat warga korban tsunami. Sementara, berbagai berita miring soal kinerja BRR terus menjadi sorotan masyarakat termasuk media massa di Aceh.
Tiga tahun, sepatutnya menjadi ukuran waktu yang matang bagi BRR dalam melakukan perencanaan untuk merumahkan kembali korban tsunami. Banyak alasan yang dikemukakan kenapa pembangunan perumahan bagi korban tsunami lambat.
Jika setiap hari masyarakat korban tsunami terus berteriak minta rumah, itu wajar, karena memang haknya. Jika setiap hari, korban tsunami ramai-ramai mendemo kantor BRR, itu juga wajar. Mereka datang ke BRR hanya untuk meminta sebuah kepastian, rumah.
Dalam sepekan terakhir, jika teliti dan rajin menyimak sejumlah berita dan isi mailinglist di internet yang dibuka sejumlah LSM di Aceh, maka belakangan mulai muncul satu gagasan bersama untuk menyuarakan hak yang sama atas nama korban tsunami ke BRR. Sejumlah LSM merasa harus menjadi bagian terdepan dalam membantu masyarakat korban tsunami di Aceh. Masyarakat korban tsunami pun harus kembali disegarkan, bahwa tuntutan mereka ke BRR bukanlah suatu tindakan yang tak wajar tetapi satu upaya mengembalikan hak mereka yang belum terpenuhi selama ini. Korban tsunami berhak atas berlimpah bantuan yang banyak mengalir ke Aceh selama ini, jadi tuntutan untuk segera menuntaskan sejumlah PR besar yang belum diselesaikan BRR adalah kewajaran yang benar-benar wajar.
Keinginan untuk menduduki kembali kantor BRR terlontar juga dari ratusan warga yang mendiami hunian sementara sepanjang bantaran sungai Lamnyong dan Krueng Cut, Banda Aceh. Mereka yang selama ini belum mendapat kejelasan soal rumah bantuan, merasa perlu kembali menagih janji BRR yang sebelumnya membuat komitmen membangun 250 unit rumah di kawasan Alue Naga, Banda Aceh.
Keuchik Alue Naga, Sayuti, berasama 1500 an warga Alue Naga siap menduduki kantor BRR jika hingga akhir tahun ini rumah mereka belum kunjung dibangun.
Sesumbar pak keuchik dan warga Alue Naga, tidak bisa dipandang sebelah mata oleh BRR, dan dianggap hanya gertak semata. Tetapi, sesumbar itu adalah akumulasi kekesalan warga korban tsunami yang hingga saat ini merasa terpinggirkan.
Kenyataan ini, tentu bukan suatu hal yang baik bagi proses kelangsungan rekonstruksi di Aceh. Maka dari itu, bijak jika BRR melakukan percepatan dalam proses membangun Aceh. Sejumlah kasus kasat mata di lapangan, misal soal rumah hendaknya menjadi prioritas utama sebelum semuanya menjadi bom waktu yang siap meledak pada saat momen yang tepat.
Demo adalah ciri masyarakat berdemokrasi, tetapi jika demo terus berulang ke kantor BRR, maka ini mengisyaratkan ada sesuatu yang tidak 'benar' yang dilakukan BRR dalam menjalankan tugasnya di Aceh.
Banyak prestasi yang ditoreh BRR, tetapi kemudian itu menjadi tenggelam oleh catatan buruk hasil pekerjaan lembaga ini. Maka dari itu, poleslah kembali agar semuanya menjadi lebih berwibawa dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat korban tsunami. Masih ada waktu, sebelum semuanya menjadi terlambat.
Keadaan ini, sepatutnya tidak terjadi bagi korban gempa dan tsunami di Aceh. Tetapi, kenyataan seperti itu adanya, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias sepertinya tidak begitu peka terhadap persoalan yang sedang dirasakan korban tsunami saat ini. Padahal lembaga ini dibentuk, karena ada korban tsunami yang harus segera ditolong, yang harus segera diberi tempat layak. Maka, jangan salahkan rakyat, ketika mereka kembali berdemo ramai-ramai ke kantor BRR di kawasan Luengbata, Banda Aceh.
Sejak tahun 2007, sudah puluhan kali demo digelar masyarakat korban tsunami. Yang terbesar, dan semuanya menjadi terperangah ketika demo itu berakhir rusuh saat korban tsunami bersama Persatuan Warga Barak (PORAK) menuntut hak kepada BRR. Seharusnya, hal itu menjadi catatan bagi BRR, betapa lembaga ini belum begitu maksimal memulihkan kembali korban tsunami di Aceh.
Pasang surut demo pun terus terjadi, demo berulangkali muncul dan menyuarakan tuntutan yang sama ke kantor BRR. Dalam momen itu pula tidak pernah ada kesepakatan yang bisa didapat warga korban tsunami. Sementara, berbagai berita miring soal kinerja BRR terus menjadi sorotan masyarakat termasuk media massa di Aceh.
Tiga tahun, sepatutnya menjadi ukuran waktu yang matang bagi BRR dalam melakukan perencanaan untuk merumahkan kembali korban tsunami. Banyak alasan yang dikemukakan kenapa pembangunan perumahan bagi korban tsunami lambat.
Jika setiap hari masyarakat korban tsunami terus berteriak minta rumah, itu wajar, karena memang haknya. Jika setiap hari, korban tsunami ramai-ramai mendemo kantor BRR, itu juga wajar. Mereka datang ke BRR hanya untuk meminta sebuah kepastian, rumah.
Dalam sepekan terakhir, jika teliti dan rajin menyimak sejumlah berita dan isi mailinglist di internet yang dibuka sejumlah LSM di Aceh, maka belakangan mulai muncul satu gagasan bersama untuk menyuarakan hak yang sama atas nama korban tsunami ke BRR. Sejumlah LSM merasa harus menjadi bagian terdepan dalam membantu masyarakat korban tsunami di Aceh. Masyarakat korban tsunami pun harus kembali disegarkan, bahwa tuntutan mereka ke BRR bukanlah suatu tindakan yang tak wajar tetapi satu upaya mengembalikan hak mereka yang belum terpenuhi selama ini. Korban tsunami berhak atas berlimpah bantuan yang banyak mengalir ke Aceh selama ini, jadi tuntutan untuk segera menuntaskan sejumlah PR besar yang belum diselesaikan BRR adalah kewajaran yang benar-benar wajar.
Keinginan untuk menduduki kembali kantor BRR terlontar juga dari ratusan warga yang mendiami hunian sementara sepanjang bantaran sungai Lamnyong dan Krueng Cut, Banda Aceh. Mereka yang selama ini belum mendapat kejelasan soal rumah bantuan, merasa perlu kembali menagih janji BRR yang sebelumnya membuat komitmen membangun 250 unit rumah di kawasan Alue Naga, Banda Aceh.
Keuchik Alue Naga, Sayuti, berasama 1500 an warga Alue Naga siap menduduki kantor BRR jika hingga akhir tahun ini rumah mereka belum kunjung dibangun.
Sesumbar pak keuchik dan warga Alue Naga, tidak bisa dipandang sebelah mata oleh BRR, dan dianggap hanya gertak semata. Tetapi, sesumbar itu adalah akumulasi kekesalan warga korban tsunami yang hingga saat ini merasa terpinggirkan.
Kenyataan ini, tentu bukan suatu hal yang baik bagi proses kelangsungan rekonstruksi di Aceh. Maka dari itu, bijak jika BRR melakukan percepatan dalam proses membangun Aceh. Sejumlah kasus kasat mata di lapangan, misal soal rumah hendaknya menjadi prioritas utama sebelum semuanya menjadi bom waktu yang siap meledak pada saat momen yang tepat.
Demo adalah ciri masyarakat berdemokrasi, tetapi jika demo terus berulang ke kantor BRR, maka ini mengisyaratkan ada sesuatu yang tidak 'benar' yang dilakukan BRR dalam menjalankan tugasnya di Aceh.
Banyak prestasi yang ditoreh BRR, tetapi kemudian itu menjadi tenggelam oleh catatan buruk hasil pekerjaan lembaga ini. Maka dari itu, poleslah kembali agar semuanya menjadi lebih berwibawa dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat korban tsunami. Masih ada waktu, sebelum semuanya menjadi terlambat.