Mereka Mencari Keadilan

Senin (23/7) lalu sekitar 500 an korban pelanggaran HAM di Aceh berdelegasi ke DPR Aceh. Mereka datang untuk menyampaikan tuntutan mencari keadilan atas jiwa-jiwa tak berdosa yang terpaksa meregang nyawa ketika konflik berkecamuk di ujung barat pulau Sumatera, Aceh.
Para korban konflik belum mendapat perhatian serius dari pemerintah dalam menangani nasib mereka. Pemerintah terkesan lambat mengambil suatu kebijakan bagi penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh. Para korban konflik terus berjuang agar keadilan bisa mereka dapatkan, mereka tidak menghendaki proses pemaafan atas pelanggaran HAM di Aceh ditempuh tanpa prosedur hukum yang dijalankan terlebih dahulu.
Penandatanganan MoU antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 15 Agustus 2005 di Helsinki, merupakan babak baru menyudahi permusuhan yang digelorakan sejak 1976 di Aceh. Kesepakatan damai merupakan inisiatif cerdas kedua belah pihak yang bertikai untuk kembali bersama-sama membangun Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih bermartabat.
Penghentian permusuhan saat ini, seharusnya tidak serta merta menghilangkan hak-hak rakyat Aceh yang mencari keadilan. Proses reintegrasi yang telah berjalan selama hampir dua tahun pasca kesepakatan damai, dinilai sejumlah pihak belum memperlihatkan keseriusan pemerintah bagi para korban konflik. Hingga saat ini proses itu masih saja menemukan batu sandungan di tengah jalan. Jika sejumlah mantan kombatan telah mendapat hak-hak mereka yang sempat hilang, dengan beragam bentuk bantuan dan pemberdayaan, maka kesempatan yang sama tidak didapat oleh korban pelanggaran HAM semasa konflik. Para korban konflik meski beberapa diantara mendapat santunan, tetapi hak-hak adami (manusia) yang tersangkut dengan para pelanggar HAM belum diselesaikan dengan arif dan bijaksana.
Dalam koridor syariat agama, pemerintah Aceh pernah mengupayakan bantuan dana diyat bagi korban konflik di Aceh. Tetapi dalam prakteknya, penyaluran dana diyat tersebut tidak sesuai dengan kaidah agama sekalipun. Program diyat yang disalurkan pemerintah dinilai sejumlah pihak hanya sebagai santunan untuk 'tutup mulut'. Penderitaan yang ditanggung keluarga korban pelanggaran HAM tidak sebanding dengan dana diyat yang disalurkan pemerintah saat itu. Luka lama dari derita panjang akibat kehilangan saudara pada saat Aceh berkecamuk akan terus muncul jika proses rekonsiliasi tidak dijalankan dengan benar. Jika meruju pada konsep agama--karena Aceh telah menerapkan syariat Islam--maka proses rekonsiliasi harus ditempuh dengan kaidah yang ada. Dalam Islam, proses pemaafan terjadi apabila kedua belah pihak baik korban dan para pelanggar menempuh mekanisme hukum yang ada. Para pelanggar terlebih dahulu dihadapkan ke meja pengadilan, soal memaafkan atau tidak itu terjadi setelah proses hukum ditempuh. Disinilah kemudian muncul konsep diyat (tebusan) pengganti nyawa yang hilang.
Apa yang terjadi di Aceh malah sebaliknya, dana diyat disalurkan tetapi proses penegakkan hukum sama sekali tidak diwujudkan. Rakyat dininabobokan dengan bantuan berlimpah, tetapi hak mereka mencari keadilan sepertinya tersumbat dengan belah kasih sang penguasa dengan memberi banyak bantuan.
Jika ini terus dibiarkan, maka perlahan tapi pasti kondisi seperti ini akan menjadi sandungan dan kerikil tajam yang mengganggu bagi proses damai berkelanjutan di Aceh. Rakyat butuh keadilan yang tidak digadai dengan uang, mereka akan terus menuntut pemerintah jika hak-hak mereka mencari keadilan tidak juga dikabulkan.

Post a Comment

Previous Post Next Post