Diawali sentilan alumnusnya, almarhum Martunis yang menyoal akreditasi C, Unsyiah kemudian menjadi isu berkelas dan sajian berita menarik bagi media yang menemukan ‘headline’-nya manakala Guru Besar di kampus itu ikut serta di pesta demokrasi di Aceh.
Kabar dari Unsyiah menjadi running news tak berkesudahan pascapilkada, bau borok itu tak lekas sembuh dan bahkan menular ke bagian lain, ke ruang-ruang kuliah di mana mahasiswa pun ikut serta mendiskusikan ribut-ribut di kampus mereka.
Belum reda saling tuduh “siapa” makan uang “apa” saat ada kuasa, Kamis, 10 Januari pekan lalu, kita kembali terkejut dengan kabar terbaru dari Unsyiah. Sejumlah dosen dan juga Guru Besar bersitegang terlibat cek-cok berebut menentukan cara meniti jalan menuju kursi kuasa.
Menggebrak meja
Mereka gaduh dengan cara mereka, cara para Guru Besar. Ribut-ribut itu menjelma menemukan wujud aslinya. Wujud siapa sesungguhnya guru-guru kita di kampus itu yang menggebrak meja melempar kursi di acara pemilihan dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Memalukan memang, tetapi itulah fakta yang terjadi. Para guru itu saling tunjuk siapa yang memulai kegaduhan itu. Diibaratkan tawuran mahasiswa, para guru besar itu juga tak mau disalahkan, tak mau dianggap pemicu. Masing-masing menyebut kubu “lawan” sebagai pemicu kerusuhan pada prosesi pemilihan dekan di fakultas yang khusus mencetak para guru atau pendidik di negeri ini.
Peristiwa tersebut patut menjadi perenungan bersama. Mereka yang melempar kursi menggebrak meja itu, bukan mahasiswa tapi gurunya mahasiswa, mereka bukan guru kecil tetapi Guru Besar, guru yang sepatutnya menjadi rujukan dari lautan ilmu yang diberikan Tuhan. Al-Ghazali menyebut bahwa hakikat pendidikan adalah mengedepankan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela, maka apakah kita akan membenarkan tindakan para guru besar itu? rasanya berat hati membenarkan cara-cara para guru besar tersebut, apalagi hanya untuk memperebutkan secuil kekuasaan, yakni kursi dekan. Kita seperti sedang melihat siswa SMA terlibat tawuran atawa preman-preman yang marah tak kebagian jatah dari lapak keamanan yang mereka kuasai.
Jika laku Guru Besar seperti itu, kita patut bertanya jangan jangan ada proses yang tak lazim dari cara mendapat gelar itu selama ini. Buktinya, aksi menggebrak dan melempar kursi itu sesuatu yang tidak mencerminkan seorang guru.
Guru Besar, sejatinya tidak hanya mampu mencerminkan sisi keilmuan tetapi moralitas, akhlak, dan sopan santunnya juga wajib tercermin dalam prilaku keseharian mereka. Mereka mestinya unggul tidak hanya sisi keilmuan saja sehingga menjadi teladan bagi mahasiswa di kampus. Mereka bukan pemarah, mereka bukan manusia yang patut menyombongkan diri, bukan mereka yang haus kuasa, dan mengambil apa saja untuk maju ke kursi kuasa impiannya.
Untuk semua Guru Besar yang kecil dan yang akan menjadi besar, kiranya patut instrospeksi kembali. Mari tundukkan kepala, rendahkan hati untuk merenung sejenak tentang apa dan siapa Guru Besar itu sesungguhnya. Sebab, Guru besar harus menjadi inspirasi pada bidangnya untuk orang lain. Guru Besar harus menjadi panutan, harus merakyat, dan jangan menjadi ‘pendosa’ dengan hanya memikirkan golongannya dalam politik kampus.
Ciptakan harmoni
Hari ini kita melihat di Aceh sudah terdapat Guru Besar yang suka melempar kursi menggebrak meja melampiaskan kemarahannya, maka guru seperti itu tidak jauh beda dengan preman gampong yang selalu merasa kha atau juwah, berani mengamuk tanpa perhitungan, tanpa menyadari bahwa amukannya disaksikan banyak mahasiswa. Duh!
Manakala mental preman gampong itu terus saja ada dan terulang kembali, ada baiknya takzim kita, hormat Anda, dan hormat para mahasiswa, kita alihkan untuk mereka para guru atau dosen biasa yang rajin mengajar dan mengajar tanpa memikirkan kapan dan bagaimana ia bisa jadi dekan atau sibuk mengurus jalan menuju Guru Besar.
‘Perang’ para Guru Besar di kampus Unsyiah beberapa waktu lalu sungguh naif dan memalukan kita. Lalu pantaskah saat ini kita meyakini bahwa dunia akademis itu dunianya para moralis? Ya, tentu kita berharap keyakinan ini masih akan ada jika para Guru Besar itu mau berubah, berbenah, menciptakan harmoni, dan keluar dari kungkungan ‘fitnah’ yang menjerat Unsyiah saat ini. Jika tak juga berubah, maka Jantong Hate itu akan busuk sebusuk-busuknya karena di kampus itu ada banyak kedengkian yang terus dipropagandakan. Nauzubillahi min dzalik! [Dimuat di Harian Serambi Indonesia Klik | sumber foto: indonesiarayanews.com]