ARIF, MENULIS LINTAS BUDAYA


CUKUP menarik membaca judul buku tulisan Arif Ramdan - Aceh di Mata Urang Sunda, menarik karena dengan mudah kita dapat menebak seputar isi yang tidak akan jauh-jauh dengan pandangan orang Sunda terhadap Aceh. Saya yakin bagi mereka yang selama ini menaruh perhatian terhadap perkembangan budaya Nanggroe pasti akan membacanya, karena biasanya orang Aceh phobia dengan analisa pakar luar yang sering tidak tepat menggambarkan kondisi Aceh.

Saya tidak menyangka bahwa isi dari buku ini adalah catatan keseharian berdasarkan pengamatan penulisnya, bukan analisa secara akademis yang bertumpuk rujukan namun di ujung seringkali salah dalam mengambil kesimpulan. Arif Ramdan ternyata menulis apa adanya sesuai dengan yang dialaminya sehari-hari selama dia menetap di Aceh sekaligus sebagai wartawan Serambi Indonesia.

Awalnya memang saya sempat berpikir apa tidak terlalu berani menulis judul seperti di atas karena apabila salah sedikit saja maka yang selanjutnya terjadi adalah kesalahan penulis akan dilemparkan ke muka etnis Sunda yang lain mengingat penulis mengatasnamakan etnis tersebut.

Menjadi sangat tepat ketika penulis memulai tulisan dengan judul "Saya Sunda, bukan Jawa!" sebagai orang yang lahir tumbuh dan menetap di Aceh perasaan menjadi bangsa Aceh tentu melekat di dalam diri saya hingga begitu bangga menyandang dan memperkenalkan diri sebagai Ureung Aceh. Dan saya yakin perasaan seperti ini tentu juga dimiliki oleh semua rakyat yang mendiami Provinsi paling barat Sumatera ini.

Perasaan yang tumbuh bukan tanpa alasan, sejak sadar saya telah melihat bagaimana kondisi tanah di mana saya dilahirkan. Mencekam, menakutkan, intimidasi, pembunuhan dan senjata seakan menjadi bagian tidak terpisahkan dari Nanggroe. Lambat laun karena terus-menerus dalam kondisi seperti ini layaknya bangsa yang ditekan tentu akan muncul sikap eksklusif karena kesamaan suku atau kesamaan nasib di dalam diri penduduknya. Maka saat itu pandangan akan terarah kepada siapa yang berkuasa dan mempunyai wewenang memerintah negeri ini, ketika bangsa tersebut mendapati kenyataan bahwa penguasa mereka di dominasi oleh satu suku yang sangat totaliter dan merata dalam semua lini, perasaan marah itu akan terbentuk. Di saat saya menyaksikan kehidupan mereka berbeda dengan kami, kota mereka jauh lebih bagus daripada kota kami, tentu perasaan tersebut lama kelamaan akan mengkristal menjadi sikap benci terhadap mereka.

Arif ramdan seakan mengerti benar dengan perasaan orang-orang seperti saya maka untuk menghilangkan rasa curiga terhadap analisanya dia kemudian memulai dengan judul seperti di atas, sekan ingin masuk lebih dalam dan dipercayai pembaca penulis kemudian berkisah mengapa menurutnya Sunda itu bukan Jawa. Hal ini merupakan langkah yang sangat tepat mengingat buku ini sejak diluncurkan pertama kali tentu akan di konsumsi dulu oleh masyarakat objek pengamatannya yang bisa dikatakan membenci terminologi kata Jawa!

Untuk memperkuat objektivitas dari tulisannya Arif Ramdan di bagian lain bukunya juga menyertakan tulisan yang menjelaskan kepada pembaca bahwa dia layak di percaya karena tidak hanya tinggal di Aceh namun juga menikah dengan orang Aceh sehingga itu juga menjadi pendukung bagi pandangannya terhadap rakyat Aceh. Tidak lupa penulis juga menyertakan tulisan bahwa dirinya kini telah di karuniai buah hati dari hasil pernikahannya dengan Ureung Aceh (Yordani) sehingga makin mepertegas sisi dari percampuran budaya yang dimilikinya.

Kesan lain yang membuat saya suka adalah ketika kehidupan Aceh dipotret dari sisi syariatnya yang mengental dalam adat, sehingga tulisan-tulisan dalam buku ini tidak hanya sekadar membahas budaya yang antropologis namun juga berisi penjelasan-penjelasan dari pandangan Islam yang membuat uraiannya tidak hanya terkesan pengamatan tapi juga berisi penjelasan dan analisa. Hal-hal yang menurut penulis tidak sesuai dengan pandangan Islam kemudian dengan sangat santun diluruskan. Seperti pembahasan dalam judul Perabon Aceh, walaupun dalam kasus ini penjelasannya sangat subjektif karena bisa jadi hanya di lakukan oleh sekelompok orang yang ada di Aceh, namun pelurusan dari aspek syariah memang patut di berikan apresiasi di sebabkan jarangnya orang menganalisa sebuah kejadian langsung dari sudut ke Islaman.

Kekurangan dalam buku ini yaitu terlalu banyak bagan cerita yang berulang-ulang, seperti topik-topik bahasan yang menyangkut proses reintegrasi. Kemudian stigmatisasi buruk seperti dalam uraian "Tipu Aceh" hendaknya tidak di jadikan pembahasan utama apalagi menjadi satu judul di mana penulis sepertinya terlalu mengeneralisir persoalan dengan mengaitkan antara sejarah penipuan yang dilakukan oleh Teuku Umar dengan keputusan GAM untuk berdamai hingga seolah-olah terkesan bahwa bangsa Aceh adalah penipu. Menurut saya stigmatisasi seperti ini perlahan-lahan harus di hapus dari catatan sejarah.

Terlepas dari itu semua menurut saya buku ini sangat layak di baca dan mampu menjadi referensi bagi perkembangan khasanah sosial masyarakat, apalagi kemudian buku ini juga memuat tulisan Ampuh Devayan di akhir yang saya rasa sangat penting karena berfungsi sebagai rangkuman sekaligus penyeimbang dari apa yang telah di lihat oleh Arif Ramdan selama 5 tahun ia berada di Aceh.

Buku ini kedepan bisa di jadikan sebagai perkenalan awal bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam tentang Aceh, terlebih bagi mereka yang selama ini memandang Aceh secara negatif dengan alasan buku ini bukan di tulis oleh orang Aceh, lebih lanjut juga mengajarkan kita akan budaya oral seperti lazimnya kita lakukan di warung kopi sudah selayaknya di catat untuk kemudian di buku kan karena kelak akan menjadi arsip sejarah, coba bayangkan orang di luar saja menulis tentang Aceh lalu mengapa kita tidak tertarik untuk menulis juga dari sudut pandang geutanyoe selaku masyarakatnya.

Akhirul kalam terlepas dari pro dan kontra mengenai analisa buku ini,? saya selaku pribadi salut kepada Arif Ramdan yang telah berusaha menceritakan Aceh ke luar melalui usaha menulis perpaduan antara dua budaya yaitu Sunda dan Aceh, maka tidak terlalu berlebihan kiranya bila saya mengatakan bahwa dia telah menulis lintas budaya. [Ferza Koetaraja, Mahasiswa Unsyiah Banda Aceh.| Sumbersuar.okezone.com]

Post a Comment

Previous Post Next Post