Paduka, Padamu Aku Mengadu

HIDUP semakin sulit, setiap hari persoalan demi persoalan hidup terus datang silih berganti, beres masalah hutang, datang masalah cicilan. Itu terjadi karena untuk menutup hutang, saya juga harus pinjam alias berhutang lagi. Duh!

Anak terus tumbuh dewasa, harus sekolah. Meski gratis, tetapi perginya kan tidak gratis. Jika harus  diantar sepeda motor, kan pakai bensin juga yang beberapa bulan lalu harganya naik lagi, katanya sih akan terus naik di tahun depan. Istri mengeluhkan mahalnya harga bahan pokok di pasar, berharap beras bulog, tahu sendiri kan? seperti makan zaman baheula. Itu pun antre bersama banyak orang di gampong. Di absen oleh pak sekdes, "Pak Ahmad,! silakan teken di sini," sambil berteriak lalu memanggil yang lainnya.

Terpikir, sudahlah kita jual kendaraan sepeda motor saja lalu buka usaha jualan nasi di depan kantin sekolah. Tapi, anak ke sekolah pakai apa? naik angkot ya sama saja harus ada ongkosnya. Belum selesai juga masalah hidup ini. Setiap bulan tagihan air dan listrik rutin dibayar, meski beberapa kali ditegur PLN, meteran mau dicabut karena telat bayar sudah tiga bulan. Kadang kita mikir, kapan saya mau tegur PLN yang hanya bisa meminta maaf di koran kalau listrik akan mati selama satu hari, giliran!

Apa saya harus nulis surat pembaca juga di koran, biar orang PLN baca. Isinya begini, "Kepada PT PLN Persero, Saya sampaikan permohonan maaf saya bahwa bulan ini sejak tanggal 1 hingga bulan berikutnya selama tiga bulan berturut-turut tidak mampu membayar tagihan listrik. Demikian permohonan maaf ini saya sampaikan, atas perhatiannya saya sampaikan terima kasih." Tertanda,  Ahmad, Pelanggan PLN Sejak tahun 1980.

Surat itu, memang tidak pernah terkirim. Sempat beberapa kali akan dikirim tetapi sepertinya akan dianggap orang santing abad modern. Tapi, ya sudahlah.. mana tahu ada yang senasib nanti saya kasih copy surat ini. Biar mereka kirim sendiri ke koran dan ditembukan ke Manager PLN di provinsi ini.

Semakin hari, persoalan terus menerpa. Pemimpin ku asyik urusin program ini dan itu. Tapi aneh ya, saya sendiri tidak pernah merasa atau diajak gabung dalam manfaat program itu. Pernah memang akan dapat bantuan modal usaha, tetapi ada syarat. Bantuan 10 juta cair 8 juta. Yang 2 juta katanya untuk uang urus di kantor dinas tempat saya ajukan proposal. Aneh juga, yang ngurus itu yang teken  bantuan untuk saya. Itu bukan uang urus namanya! bilang saja minta jatah. Duh, rupanya sudah lama dan orang-orang di kampung juga mengatakan demikian. Mereka akhirnya ambil 8 juta ketimbang tidak dapat sama sekali.

Hidup semakin susah, tetapi itu mereka yang ngurusin kita suka sekali bicara soal keberhasilan dan program. Mereka tidak tahu hari ini saya tak makan karena tak ada lauk. Beras pun gak kebeli. Kadang ada pertempuran dahsyat dalam rumah dengan istri dan anak yang rewel minta jajan. Bukan gak sanggup jajanin anak, tapi ini penghematan di masa krisis.

Saat semua persoalan terus datang, hutang semakin membengkak. Kepala pun sakit, lambung mulai  ngulah. Kata dokter, "Jangan banyak mikir pak, asam lambungnya naik."  Dalam hati, bagaimana tidak mikir, dokter gak tahu yang saya hadapi sehari-hari. Pernah memang mengambil upah beresihin kebun orang, 20 ribu sehari. Lumayan cukup makan, tapi cukup makan hati juga, sebab tetangga berbisik, "Kasihan, apa gak ada kerja yang lain."

Ada waktu sebentar, bisa baca koran. itu koran bekas edisi yang lalu. Terbaca di sana pemerintah akan menyejahterakan rakyatnya dan membuka lapangan pekerjaan serta menjamin pendidikan yang berkualitas. Nyatanya, anak saya sekolah di SMA gratis, gurunya yang seperti apa adanya. Mereka juga sudah terlilit hutang karena ambil kredit konsumtif di bank milik daerah dengan modal SK PNS.

Pendidikan yang berkualitas tetap di sekolah swasta yang bayarnya puluhan juta, tetapi memang sangat menjamin masa depan anak. Ah, mungkin hanya bisa jadi mimpi saya untuk anak-anak. Di koran kemarin juga saya baca, kita punya orangtua tempat mengaku dalam beragam hal, tapi yang mengadu bukan saya tetapi orag tetangga rumah sekitarnya yang didengarkan keluhanya. Hmmm, apa juga dia diangkat jadi pemangku budaya dan mendengar keluhan rakyat.


Malam ini, saya sadar. Hanya satu tempat mengadu. Hanya satu tempat meminta. Gusti Allah Paduka Yang Maha Perkasa, kasihnya sepanjang masa, semua bangsa, semua kita. Paduka! padamu aku mengadu, Paduka! Yang Maha Mulia, dengarkan keluh kami. Paduka! kami sadar meminta kepada manusia itu, hanya mendapati kecewa. Kepada Engkau Paduka! aku meminta. Paduka Yang Mulia, Kabulkanlah!

# Tulisan ini, entah siapa yang membuatnya. Tercecer di spam email yang terkirim ke saya dengan akun anonim.

































Post a Comment

Previous Post Next Post