Menulis dalam Tangis

26 DESEMBER 2013 | Saya berkesempatan mengisi pelatihan untuk penulis pemula di Dayah Asaasunnajah, Lueng Ie, Ingin Jaya, Aceh Besar. Pesertanya para guru yang mengajar di lembaga tersebut, mayoritas perempuan, hanya ada dua laki-laki.

Membuka kelas dengan motivasi pentingnya menulis dan kenapa kita harus terus menulis tentang sesuatu yang jauh dan yang dekat di sekitar kita. Tanpa terasa, pemaparan tiba pada sesuatu yang dekat di hari di mana Aceh sedang mengenang bencana tsunami 9 tahun yang lalu.

Saat meminta para peserta menuliskan tentang segala hal yang dekat dengan mereka, rata- rata sepakat menuliskan deskripsi tentang gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh. Apa yang terjadi? sebagian menangis dalam diam, mereka menulis sambil menangis. Beberapa peserta keluar masuk minta izin, wajahnya memerah menahan tangis. "Pak gak kuat saya, hik hik hik," kata seorang peserta sambil keluar ruangan.

Suasana hening... saya merasa berdosa karena membangkitkan ingatan masa lalu mereka dalam duka. Tetapi, apa mau dikata. Hari pelatihan bertepatan dengan momentum 9 tahun tsunami melanda Aceh.

Di sesi perkenalan saya dapat mengetahui nama dan kisah keluarga besarnya yang pergi besama tsunami, Minggu 26 Desember 2004. Rata-rata peserta latihan penulisan di pesantren itu merupakan korban tsunami.

Menulis dalam Tangis, menjadi satu hal menarik. Saya tidak mengira, kelas pemula itu berhasil menyelesaikan deskripsi tulisan seputar mereka dalam kesehariannya. Ada yang menulis tentang ibu dan kepergiannya di hari musibah itu terjadi, tentang suami, anak, dan orang- orang terdekat di antara mereka.

Meski baru pertama kali mereka masuk di kelas menulis, tetapi ada satu harapan. Mereka punya modal, tetapi belum menemukan cara yang tepat mencurahkan ide dan gagasan tentang segala hal yang dapat mereka curahkan dalam satu tulisan berupa artikel atau tulisan opini.

Menulis dalam Tangis, cukup ampuh merangsang minat para guru di sekolah itu untuk terus berkarya. Tugas saya, di sesi awal pertemuan ini tentu merangsang dan memotivasi agar semangat itu tidak pudar. Perlu terus mengasah dan mulai menulis dari hal-hal kecil hingga persoalan besar di sekitar kita.

Menuliskan apa yang ada di pikiran kita, lebih mudah ketimbang memikirkan apa yang akan ditulis. Kirannya jurus ini juga bisa menjadi acuan bagi para penulis pemula. [*]
















 

Post a Comment

Previous Post Next Post