PARA keuchik di Bireuen kebingungan, pasalnya mereka sudah telanjur ngutang di sejumlah toko bangunan. Janji dapat alokasi dana gampong (ADG) tahap dua hanyalah mimpi, sebab sudah ada maklumat dana berikutnya tidak akan keluar dengan alasan krisis keuangan sedang melanda kabupaten penghasil aneka macam kripik itu.
Apa hendak dikata, keadaan memang seperti itu. Wakil Bupati Bireuen Busmadar Ismail, bahkan dengan tegas mengatakan tidak tersedianya dana tersebut. Kabarnya, uang yang dimiliki Pemda Bireuen sisa tahun 2009 hanya sekitar Rp 3 miliar. Masih membutuhkan dana sekitar Rp 75 miliar lagi untuk menuntaskan pekerjaan tahun 2009. Alhasil, Bireuen harus pinjam ke bank. Nah fakta itu dilontarkan Wakil Bupati, Busmadar Ismail saat memberi sambutan di hadapan ibu-ibu di Aula Setdakab Bireuen beberapa waktu lalu.
Selain alokasi dana gampong persoalan lain juga muncul, dipastikan tidak akan ada lagi gaji ke 13 untuk para PNS di kabupaten itu. Wah! jika ini terjadi sepertinya memang ada persoalan tata kelola pemerintahan yang tidak baik. ADG yang semula menjadi harapan bagi rakyat untuk membangun desa mereka, tiba-tiba dinyatakan tidak ada lagi dengan alasan berbagai hal tersebut di atas. Padahal, perangkat desa sejak Juli sudah mengancang-ancang turunnya dana sebesar Rp50 juta dengan berbagai persiapan administrasi. Tentunya, kenyataan ini cukup menyakitkan hati rakyat, sejumlah tokoh di kawasan itu malah menyebutnya sebuah pengkhianatan.
Menyorot kinerja bupati di sejumlah kabupaten di Aceh, memang beberapa diantaranya hingga saat ini belum menunjukan prestasi gemilang, yang ada malah beragam persoalan muncul kepermukaan. Ingat kasus gaji ke 13 tahun lalu yang molor dibayarkan kepada yang berhak? ini menjadi catatan penting bagi rakyat bahwa daerah mereka saat ini dalam kepemimpinan yang belum berpihak pada rakyat.
Persoalan tidak jadi tersalurnya dana alokasi gampong, juga menjadi tanda-tanya besar yang seharusnya menjadi perhatian bersama masyarakat di Bireuen. Bagaimana tidak sesuatu yang sudah jelas dan dibahas resmi di legislatif tiba-tiba dimentahkan dengan kalimat tidak ada uang. Kemana beralihnya uang tersebut?
Rakyat harus punya kemauan untuk terus melakukan tindakan pengawasan agar mereka tidak begitu saja mau dibodohi para pemimpinnya. Urusan tidak ada uang bukan urusan rakyat. Sebab tata kelola pemerintahan yang bersih dengan program kerja yang baik, tentu tidak bertemu dengan persoalan demikian seperti yang terjadi di Bireuen itu.
Jika gerakan memonitor kerja pemimpin mereka tidak dilakukan dan rakyat pun lalai dengan keadaan maka dalam kepimimpinan kali ini tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan, alih-alih mensejahterakan rakyat yang ada malah menzalimi atau menyengsarakan rakyat. Gerakan itu, harus masif dan terkendali sehingga apa yang menjadi aspirasi dalam koridor memperjuangkan rakyat terus bergulir. Inilah inti proses perubahan itu, bukan demo sembarangan ikut situasi alias angin-anginan. Perubahan itu perlu sistematik, lakukan pengawasan, perbaharui pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya penyelewengan. Jika tidak, nasib serupa akan terus dialami. Dana gampong saja bisa batal alias tak jelas lagi yang dalam bahasa lainnya dana itu menjadi ‘gaib’ tak bisa diterawang kemana dan bagaimana bisa jadi begini.
Ke depan bisa saja dana-dana lain juga akan dibatalkan karena tak pandai mengelola kekayaan. Tetapi, tentu rakyat tidak mengendaki demikian, jika tak ingin terulang maka awasi kerja pemerintahan itu secara bersama-sama, sehingga dana semisal alokasi dana gampong tidak berubah nama menjadi alokasi dan ‘gaib,’ alias tak jelas juntrungnya.
Apa hendak dikata, keadaan memang seperti itu. Wakil Bupati Bireuen Busmadar Ismail, bahkan dengan tegas mengatakan tidak tersedianya dana tersebut. Kabarnya, uang yang dimiliki Pemda Bireuen sisa tahun 2009 hanya sekitar Rp 3 miliar. Masih membutuhkan dana sekitar Rp 75 miliar lagi untuk menuntaskan pekerjaan tahun 2009. Alhasil, Bireuen harus pinjam ke bank. Nah fakta itu dilontarkan Wakil Bupati, Busmadar Ismail saat memberi sambutan di hadapan ibu-ibu di Aula Setdakab Bireuen beberapa waktu lalu.
Selain alokasi dana gampong persoalan lain juga muncul, dipastikan tidak akan ada lagi gaji ke 13 untuk para PNS di kabupaten itu. Wah! jika ini terjadi sepertinya memang ada persoalan tata kelola pemerintahan yang tidak baik. ADG yang semula menjadi harapan bagi rakyat untuk membangun desa mereka, tiba-tiba dinyatakan tidak ada lagi dengan alasan berbagai hal tersebut di atas. Padahal, perangkat desa sejak Juli sudah mengancang-ancang turunnya dana sebesar Rp50 juta dengan berbagai persiapan administrasi. Tentunya, kenyataan ini cukup menyakitkan hati rakyat, sejumlah tokoh di kawasan itu malah menyebutnya sebuah pengkhianatan.
Menyorot kinerja bupati di sejumlah kabupaten di Aceh, memang beberapa diantaranya hingga saat ini belum menunjukan prestasi gemilang, yang ada malah beragam persoalan muncul kepermukaan. Ingat kasus gaji ke 13 tahun lalu yang molor dibayarkan kepada yang berhak? ini menjadi catatan penting bagi rakyat bahwa daerah mereka saat ini dalam kepemimpinan yang belum berpihak pada rakyat.
Persoalan tidak jadi tersalurnya dana alokasi gampong, juga menjadi tanda-tanya besar yang seharusnya menjadi perhatian bersama masyarakat di Bireuen. Bagaimana tidak sesuatu yang sudah jelas dan dibahas resmi di legislatif tiba-tiba dimentahkan dengan kalimat tidak ada uang. Kemana beralihnya uang tersebut?
Rakyat harus punya kemauan untuk terus melakukan tindakan pengawasan agar mereka tidak begitu saja mau dibodohi para pemimpinnya. Urusan tidak ada uang bukan urusan rakyat. Sebab tata kelola pemerintahan yang bersih dengan program kerja yang baik, tentu tidak bertemu dengan persoalan demikian seperti yang terjadi di Bireuen itu.
Jika gerakan memonitor kerja pemimpin mereka tidak dilakukan dan rakyat pun lalai dengan keadaan maka dalam kepimimpinan kali ini tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan, alih-alih mensejahterakan rakyat yang ada malah menzalimi atau menyengsarakan rakyat. Gerakan itu, harus masif dan terkendali sehingga apa yang menjadi aspirasi dalam koridor memperjuangkan rakyat terus bergulir. Inilah inti proses perubahan itu, bukan demo sembarangan ikut situasi alias angin-anginan. Perubahan itu perlu sistematik, lakukan pengawasan, perbaharui pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya penyelewengan. Jika tidak, nasib serupa akan terus dialami. Dana gampong saja bisa batal alias tak jelas lagi yang dalam bahasa lainnya dana itu menjadi ‘gaib’ tak bisa diterawang kemana dan bagaimana bisa jadi begini.
Ke depan bisa saja dana-dana lain juga akan dibatalkan karena tak pandai mengelola kekayaan. Tetapi, tentu rakyat tidak mengendaki demikian, jika tak ingin terulang maka awasi kerja pemerintahan itu secara bersama-sama, sehingga dana semisal alokasi dana gampong tidak berubah nama menjadi alokasi dan ‘gaib,’ alias tak jelas juntrungnya.