Terah Raja


”Pasalnya, orang Aceh menang perang melawan Belanda. Mental pemenang perang di seluruh dunia itu dilayani. Bukan melayani,”


Suatu ketika, di awal bulan Ramadhan tahun 2008 usai shalat subuh di Masjid Al Hasyimiyah, Lamnyong, Banda Aceh saya berjumpa dengan Kang Wawan. Orang sunda yang membuka usaha restoran di Darussalam. Orangnya tidak terlalu tinggi, dari cara berbicaranya, sejak awal saya memang sudah bisa mengenalinya, Kang Wawan pasti orang sunda. Benar, dugaan saya ketika berkesempatan kenalan. Kang Wawan orang Padalarang, Bandung, baru membuka usaha restoran muslim, punya nama Chicago.

Dua hari mengenalnya, dia langsung berkeluh kesah soal karyawan yang baru direkrutnya itu. “Aduh, kang saya mah bingung, disini beda sekali dengan di Bandung. Karyawan nya suka-suka. Nggak masuk biasa saja, kayak tak punya kewajiban,” gerutunya. Mendengar keluhan Kang Wawan, saya hanya tersenyum. Dalam hati, sama atuh dengan saya. Kang Wawan baru sebulan di Aceh, udah seperti itu. Saya sudah empat tahun di Aceh lebih dari itu, merasakan sesuatu hal yang ganjil dari sisi kultur Aceh yang cukup jauh berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Memahami karakter orang Aceh, tidak cukup satu atau dua hari saja. Perlu waktu lama, agar penilaian itu tidak sekenanya yang cenderung stereotif. Memang, apa yang dikeluhkan Kang Wawan, benar adanya. Ada satu perilaku yang kita akan terperangah ketika menyaksikan itu. Misal, banyak diantaranya orang-orang di Aceh tidak suka diperintah, sukanya menjadi bos, walaupun bos kecil-kecilan. Saya punya pegawai di tempat usaha yang dikelola istri saya. Aduh! Minta ampun pusingnya. Kerjanya suka-suka, diomongin tidak cukup sekali. Kalau pulang kampung tak tanggung-tanggung, cutinya melebihi jatah pegawai negeri sipil. Belum lagi, kalau ada kenduri (hajatan; bahasa Sunda) yang menurut saya--orang Sunda--sebenarnya tidak terlalu penting untuk hadir di acara itu. Kewajiban membantu sebagai tetangga sebenarnya sudah bisa diwakili oleh kerabat yang lain di kampungnya. Tetapi, ternyata tidak. Pegawai di tempat saya, minta izin pulang kampung, katanya, ada kenduri saudaranya meninggal. Apa hendak dikata, meski pekerjaan menumpuk di toko, akhirnya harus saya izinkan. Sudah bisa ditebak, di kampung bisa berhari-hari lamanya, begitu kembali ke toko seperti tidak pernah ada masalah.

Ketika itu, saya masih menerka-nerka perilaku yang demikian. Mungkin hanya oknum saja, banyak orang Aceh yang baik, jujur dan tanggungjawab atas pekerjaan yang diembannya. Sedikit tercerahkan ketika membaca tulisannnya Murizal Hamzah, wartawan Aceh yang ‘geram’ dengan perilaku bangsanya itu. Murizal menulis artikel dengan judul Cucu Raja. Sebuah tulisan menggelitik, dengan kritik tajam soal sosio budaya orang Aceh yang menurut Murizal Hamzah, cukup mengesalkan. Saat itu, saya punya kekuatan untuk membahasnya lebih lanjut tentang perilaku sebagian orang-orang di daerah ini. Toh, orang Aceh sendiri membeberkan fakta apa adanya soal bangsanya itu.

Orang Aceh, menurut Murizal Hamzah punya sejarah keemasan pada zaman raja-raja. Ini kemudian memengaruhi gaya hidup mereka yang cenderung minta dilayani, bukan menjadi pelayan. Karena terah (turunan) raja biasa minta diperlakukan seperti itu. Bukan hanya di Aceh tapi dimana saja yang pernah ada kaitan dengan raja-raja. Bahkan, dalam tulisan yang diulas Murizal Hamzah, dia menyangsikan terkait bisakah orang Aceh menjadi pelayan yang memuaskan konsumen? Seorang tokoh pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh secara bergurau menyatakan orang Aceh tidak cocok ditempatkan di bagian pelayan. Pasalnya, orang Aceh menang perang melawan Belanda. Mental pemenang perang di seluruh dunia itu dilayani. Bukan melayani. Jadi sambungnya, silakan cek di hotel-hotel di Banda Aceh, mayoritas yang menjadi office boy itu berasal dari luar Aceh. Maka jangan heran pasca tsunami, ada yang penyalur tenaga kerja yang memasang iklan di Serambi Indonesia bahwa pihaknya menyediakan Pembantu Rumah Tangga (PRT) dari Pulau Jawa.

Memahami Aceh, seperti saya uraikan di atas tidak bisa sepintas lalu. Ada banyak hal yang mesti kita perhatikan agar arif dalam menilai. Syukur alhamdulillah, saya mendapatkan pendamping hidup (orang rumah; istilah Aceh) seorang anak teungku atau ajengan, kiayi, dan pangersa kalau dalam bahasa Sunda. Dari orang rumah lah¸ yaitu istri, saya banyak mengenal Aceh lebih jauh tentu dengan seluk-beluknya. Seorang kawan saya, berseloroh saya baru bisa memahami Aceh kalau sudah ‘tidur’ dan ‘meniduri’ Aceh. Dan itu benar adanya, perlahan tapi pasti saya mulai belajar arif memahami karakter orang-orang di sekitar saya. Jauh berbeda ketika saya pertama kali datang dan mengenal orang-orang Aceh di kampung tempat saya tinggal.

Maka, ketika ada orang Sunda, Jawa, dan macam suku lainnya yang datang ke Aceh tiba-tiba melontarkan kalimat menyindir--sudah barang tentu negatif--tentang Aceh, saya hanya bisa tersenyum. Saat waktunya tepat, saya coba jelaskan ke mereka, kenapa orang-orang di Aceh seperti itu. Bahkan, suatu ketika ada lima pengusaha dari Bandung terlibat dialog serius di sebuah restoran Sunda, saat itu saya juga sedang menikmati makanan khasa Sunda bersama istri dan anak saya. “Wah lieur urang mah di Aceh, susah neangan jelema nu daek diajak digawe. Bobohan terah raja, watakna teh arolo-olo, gawe sangeunahna, ” ceuk hiji pamuda, anu pakeanana perlente.

Ketika itu, istri saya mendengarnya dengan jelas tentang mereka yang memandang orang-orang Aceh seperti itu. Istri saya, yang sedikit banyak tahu bahasa Sunda, berbisik pada saya, “Aa, nyan ureung Sunda,? Lalu saya jawab iya, mereka orang-orang dari Bandung lagi bicara bisnis dan pusing dengan tingkah laku anak buahnya yang orang Aceh. Ketika itu, saya cukup mengerti dengan penilaian sepintas tentang orang-orang di Aceh. Seperti saya semula yang menilai gegabah dan terlalu streotif. Masanya nanti, ketika mereka benar-benar telah menyatu dengan masyarakat sekitar, mereka pasti akan punya kesan seperti kesan saya saat ini yang berusaha memahami Aceh dalam sudut pandang orang Aceh.

Perkenalan saya dengan Katua Majelis Adat Aceh (MAA) Tgk Badruzaman Ismail, menambah wawasan saya tentang Aceh yang sesungguhnya. Tgk Badruzaman Ismail pernah tinggal di Cipanas, Cianjur dalam waktu yang cukup lama juga beberapa daerah di tatar Sunda. Dia pun pasih bicara dengan bahasa Sunda. Saya terkejut suatu ketika di loka karya penyusunan naskah UUD 1945 versi hikayat Aceh, Tgk Badruzaman Ismail menyapa saya dengan bahasa Sunda, tutur bahasa Sundanya mengalir sesuai dengan undak usuk bahasa Sunda. Bicara soal adat Aceh dengan Tgk Badruzaman Ismail, mengantar saya untuk memahami lebih jauh filosopi hidup orang Aceh, termasuk soal mayam (mahar; mas kawin) yang besarannya di atas rata-rata kebiasaan mahar yang diberikan perjaka di tanah Jawa.

Memahami Aceh, memang perlu waktu lama. Belanda saja, berani menyekolahkan Snough Hogrounje ke Arab Saudi, hanya untuk menelikung Aceh dari dalam. Maka perang Belanda di Aceh adalah perang yang paling lama, dan orang-orang di sini susah untuk ditaklukan, sehingga orang-orang Belana dimana orang Aceh menyebutnya Kafhe, pulang dengan sejuta duka. Itu tentu cerita lalu.

Hari ini, untuk memahami Aceh bisa dilakukan pendekatan dari kacamata Aceh, jangan dari sudut pandang nun jauh di sana. Maka, perdamaian Aceh terwujud salah satunya karena orang-orang di Jakarta mulai sudi melihat Aceh dari dalam sudut pandang Aceh yang ketururanan raja-raja itu dan melihat Aceh yang pernah menjadi nyawanya Indonesia di masa awal kemerdekaan.

Melihat Aceh, dengan budaya dan adatnya itu benar-benar sesuatu yang membuat saya kadang berdecak kagum, kesel, dan tertawa. Bagaimana tidak, sebuah cerita turun temurun, menyebutkan untuk mengusir armada Belanda yang datang dari arah laut, orang-orang Aceh cukup hanya berlari ke pinggir pantai, telanjang bulat, lalu mengecat pantatnya dengan cat warna hitam, kemudian berjejer sepanjang garis pantai dan menunggingkan pantatnya ke arah datangnya pasukan Belanda. Dengan cara itu, pasukan Belanda ketakutan, lalu memutar arah, karena melihat ‘meriam’ Aceh berwarna hitam sepanjang garis pantai siap memuntahkan pelurunya menyambut ketadangan mereka. Nah !

5 Comments

Previous Post Next Post