Sejak adzan shubuh berkumandang, hingga selesai shalat di Masjid Raya Baiturrahman, Sabtu (11/10), Hanafiah tidak beranjak dari tempat duduknya. Lelaki renta yang telah berusia 82 tahun ini, sengaja datang ke Banda Aceh dari daerah Idi yang jauh di Aceh Timur sana. Satu yang menjadi sebab, lelaki berkacamata ini bertahan di Masjid Raya, yaitu ingin melihat Hasan Tiro yang dia lebih kerasan menyebutnya Wali Nanggroe.
Sabtu siang lalu memang menjadi sejarah bagi Aceh. Ribuan massa dari berbagai daerah tumpah ke Banda Aceh untuk menyambut orang nomor satu yang menjadi ikon perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 1976 silam. Kedatangan Hasan Tiro ke Aceh memang ditunggu banyak orang, terutama mereka yang berkepentingan atas kehadiran lelaki anak Tanjung Bungong, yang lama bermukim di Swedia ini.
Bagi Hanafiah, kesempatan ini menjadi begitu penting. Generasi yang hidup pada masa pergerakan Abu Daud Beureu-eh ini, sama sekali belum pernah berjumpa dengan Hasan Tiro. Meski pada masanya itu, kesempatan bertemu dengan Hasan Tiro sangat memungkinkan.
Menurutnya, selama pergolakan di Aceh, Hanafiah termasuk salah seorang yang menyokong logistik ke gunung ketika suasana semakin tidak menentu.
Hanafiah bukan seorang diri. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang tumpah di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Sabtu siang itu, adalah generasi Aceh yang lahir di kemudian hari yang merasa sangat ingin tahu dari dekat sosok Hasan Tiro yang selama ini hanya mereka dengar dari mulut ke mulut atau dari pemberitaan media. Bisa dipahami, jika orang-orang dari gampong yang jauh berbondong-bondong ke Kutaraja untuk melihat 'Wali' yang diagungkan orang-orang terdekatnya di lingkaran pengikut perjuangan GAM selama ini. Di benak mereka ada satu rasa penasaran yang membuncah Sabtu siang itu.
Puas! Sudah barang tentu, itu yang dirasakan mereka ketika secara kasat mata bisa melihat sosok yang selama seolah-olah hanya ada di dunia entah berantah ini. Meski, di antara massa yang berdesak-desakan itu ada saja yang mendumel tidak puas, karena pandangannya terhalang oleh puluhan potong kepala manusia yang berada di depannya, sehingga sesekali harus berani melempar botol air mineral agar orang yang di depannya itu sudi duduk sejajar, sehingga Wali bisa terlihat dari jauh.
Sabtu siang itu, memang sejarah baru yang kembali diukir dalam lintasan sejarah Aceh yang penuh pergolakan tersebut. Hasan Tiro yang sejak 30 tahun terakhir berada di pengasingan itu, sudah barang tentu menjadi sesuatu yang asing, yang menjadi penasaran orang-orang, terutama mereka yang mengikuti proses perjalanan sejarah pergolakan Aceh.
Anak-anak, remaja, pemuda tanggung, dewasa, dan bapak-bapak yang hidup pada kurun waktu ketika Hasan Tiro mangkat dari Aceh ke luar negeri--karena tekanan pemerintah saat itu--tentu sangat ingin sekali melihat dari dekat, meski ada mata rantai yang terputus dari kearifan sejarah tentang siapa sesungguhnya orang yang dielu-elukan pada Sabtu siang itu. Bagi mereka, itu tidak penting. Karena abu dan ummi, juga teungku-teungku di balai-balai pengajian dan di meunasah sesekali sering berbisik soal Wali Nanggroe. Bagi mereka, generasi yang hidup di era 80-an itu, lelaki yang duduk di atas kursi plastik di atas panggung di halaman Masjid Raya tersebut, yang diapit para pengawal pribadinya, adalah sosok yang menjadi ikon perjuangan mencari keadilan. Soal sejarah detil, sepertinya tidak begitu penting untuk mereka. Karena orang-orang di gampong pergi berbondong-bondong ke Kutaraja. Umi dan Abu juga demikian, maka ketika fasilitas ada di depan mata, pergi ke Kutaraja adalah pilihan untuk melepas rasa penasaran itu. Begitu juga apa yang dirasakan Hanafiah (82). Lelaki dari Idi itu, penasaran untuk melihat dari dekat bagaimana dan siapa sesungguhnya orang yang selama ini menjadi pokok pembicaraan itu.
Foto : Arif Ramdan