Sudah lampu mati, suplai air ikut-ikutan terhenti.
Lengkap sudah derita rakyat di nanggroe ini.
Begitu kira-kira keluhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Aceh yang sejak dua hari lalu harus puas dengan kondisi gelap gulita akibat suplai listrik terhenti. Mati lampu--istilah populer di masyarakat--atau terhentinya suplai aliran listrik ke rumah-rumah warga yang terjadi sejak Senin (21/7) lalu memang disebabkan peristiwa alam. Dua tower jaringan transmisi 150 kilovolt (KV) milik PLN di kawasan Desa Sekrak, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, tumbang akibat diterjang puting beliung, Senin (21/7) petang. Seperti biasanya, dampak terganggunya transmisi yang masuk sistem Sumut-Aceh tersebut membuat 12 kabupaten/kota, mulai pantai timur-utara Aceh hingga Banda Aceh dan wilayah tengah mengalami krisis listrik sangat serius.
Mati lampu secara serentak yang terjadi sejak menjelang magrib, kali ini merupakan rentetan panjang nasib yang harus diterima warga di negeri paling ujung Indonesia ini. Krisis listrik Aceh memang sudah berlangsung sejak lama, dalam masa itu pula tidak pernah ada solusi cerdas untuk mengakhiri derita yang dialami masyarakat di Aceh, bahkan termasuk Medan, Sumatera Utara.
Khusus Aceh, kondisi seperti ini cukup meresahkan karena menyangkut hak hidup orang banyak dan nasib perekonomian Aceh ke depan. Sejumlah investor yang semula melirik Aceh sebagai ladang bisnis masa depan, perlahan undur diri karena hingga saat ini belum ada kepastian soal listrik. Lain kata investor, lain pula kata masyarakat kecil. Mereka cukup mengeluhkan kondisi Aceh yang sering mati lampu. Betapa tidak, sejumlah pengusaha kecil menengah yang mulai bergeliat di bidang ekonomi terpaksa urut dada, ketika listrik mati berimbas kepada sektor yang mereka geluti sehari-hari. Tukang cukur misalnya atau tukang jahit yang menggunakan mesin terkoneksi ke listrik.
Khusus pemadaman kali ini, keluhan pun muncul berlipat ganda. Jika sebelumnya bisa sabar karena cuma lampu yang tak hidup, padamnya listrik kali ini diikuti terhentinya suplai air PDAM ke rumah-rumah warga. Tidak diketahui apa penyebab pasti terhentinya suplai air kali ini.
Cerita soal keluhan dari layanan yang buruk ini, lazim adanya untuk kita dan mereka yang tinggal di wilayah paling ujung. Semuanya serba terbatas dan tergantung dengan yang lain. Listrik kita di Aceh, sekian besarnya masih bergantung dari Medan, Sumatera Utara. Pembangkit yang ada dalam Kota Banda Aceh, misalnya, tidak mampu memberi solusi bagi rakyat kecil. Jika terjadi pemadaman, maka wilayah-wilayah 'khusus' masih bisa sumringah karena di kompleksnya listrik tidak padam. Tetapi, nasib warga miskin di bantaran Krueng Aceh harus menelah mentah-mentah penderitaan itu. Pemadaman bergilir pun sering tidak sesuai jadwal yang dijanjikan.
Nasib negeri di ujung, bukan cuma listrik. Negeri ini masih sangat tergantung dengan daerah lain. Bayangkan, jika terjadi banjir di perbatasan Aceh maka otomatis suplai kebutuhan pokok untuk penduduk nanggroe terganggu. Atau saat gelombang laut dinyatakan besar dan berbahaya bagi pelayaran, kapal tangker pembawa bahan bakar minyak untuk nanggroe ini pasti tersendat. Ketika ini terjadi, sudah bisa dipastikan ribuan kendaraan antre berjejal di setiap SPBU di nanggroe ini.
Negeri ini memang di ujung, tetapi tidak bisa bersabar terus menerus atas kenyataan yang lazim diterima negeri paling ujung. Perlu langkah dan kebijakan cerdas dari Pemerintahan yang berkuasa kali ini untuk mengatasi masalah yang kerap terjadi. Karena ini sudah terbiasa, maka kiranya jalan keluar sudah bisa dipetakan sejak awal. Jangan tunggu Aceh surplus listrik tahun 2012, karena itu terlalu lama. Rakyat tak butuh janji masa depan yang belum jelas. Tetapi, butuh kepastian untuk hari ini dan hari-hari berikutnya agar nasib rakyat negeri di ujung ini tidak terus-menerus mengurut dada, tanda pasrah akan derita.
Foto :arif ramdan/doc