Dari Aceh, Citra Islam "Dirusak"


Gambaran kekerasan atas nama syariat terus terjadi, maka orang-orang Islam di Aceh, termasuk santri, tengku-tengku, ustadz-ustadz, dan kita termasuk berdosa karena menjadi bagian dari orang-orang yang menodai citra Islam itu sendiri.

SABTU 14 JUNI, dinihari, menjadi hari naas bagi Saidan (50). Warga Desa Manyang, Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara ini nyaris kehilangan tangan kirinya. Tangan Saidan dipotong warga, karena kedapati sedang menyembelih kambing hasil curiannya. Saidan menjadi korban kebrutalan massa yang bertindak--katanya--atasnama syariat Islam. (Serambi, Minggu 15 Juni 2008).
Kasus yang menimpa Saidan, hanyalah satu dari sekian peristiwa terjadi di Aceh yang kerap dilakukan atasnama 'penegakkan' syariat Islam. Sebagian masyarakat cenderung memilih jalan tersendiri ketika perangkat penegak syariat Islam di Aceh belum atau tidak mampu menjalankan misinya dengan baik. Sejak dicanangkannya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, kebijakan ini belum mampu menyentuh persoalan hakiki yang dialami masyarakat Aceh. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh semakin tidak jelas, kemana arah yang hendak dicapai. Harapan luhur damai dalam bingkai syariat justru melenceng dari tujuan suci risalah Islam itu sendiri. Pengawas syariat, yaitu Wilayatul Hisbah yang semula diharapkan menjadi otorita tersendiri dalam mengawal pelaksanaan syariat malah dimerger dengan Satpol PP, sebuah lembaga penertiban yang dikenal ahli `menggusur' kios liar. Jabatan Kepala Dinas Syariat Islam, tidak lagi menjadi posisi terhormat dan bersih dari praktik kotor birokrasi. Posisi ini sama saja dengan posisi pejabat eselon lainnya, aspek kefiguran dan keilmuan untuk memikul tanggungjawab besar agama ini, telah terbaikan oleh sistem yang dibangun saat ini di Aceh.
Syariat Islam hari ini masih dipahami sebatas bentuk uqubat (hukum) atas berbagai tindak kemaksiatan yang terjadi di negeri Serambi Mekkah. Tata laksana syariat Islam, yang diatur dalam Qanun, belum sanggup memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang menimpa masyarakat Aceh, termasuk masalah pendidikan, ekonomi, dan kemiskinan yang mendera rakyat. Bahkan, pelaksanaan syariat saat ini tidak berdaya ketika berhadapan dengan pejabat.
Qanun tentang syariat Islam tidak mampu menjerat pelanggar dari kalangan ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan tertundanya hukum cambuk bagi anggota DPRK di Aceh Tamiang, tidak jelasnya penyelesaian kasus mesum Ketua PN Sabang yang saat ini sudah menduduki jabatan lain di luar nanggroe atau pembatalan kesaksian warga Lambhuk, Banda Aceh yang memergoki mantan kombatan sedang bermesum di dalam mobil.
Jika kita berselancar di dunia maya, kemudian memasukan kata syariat Islam di Aceh di mesin pencari, semisal google, maka banyak kita jumpai beragam kritik atas pelaksanaan syariat Islam. Dari sekian ribu kata yang muncul, ratusan di antaranya terdapat berbagai komentar dari kalangan non Islam. Saya menemukan sebuah alamat blog yang habis-habisan menyebut syariat Islam di Aceh sebagai sebuah kebijakan barbar. Tak lupa si empunya blog memasukan data berikut foto-foto razia jilbab di jalanan, kasus rekaman mesum Lhoknga yang dikaitkan dengan penegakkan syariat, batalnya konser sebuah grup band, aksi santri membubarkan tempat hiburan, bahkan perilaku bejat oknum Wilayatul Hisbah (WH) yang kedapati mesum di sebuah WC umum.
Tentunya, peristiwa tersebut dikomentari dengan sangat pragmatis sehingga kesan yang muncul kemudian adalah Aceh sebagai sebuah negeri yang tidak mengindahkan hak asasi manusia. Apalagi komentar dari para penolak syariat, termasuk barat dan sebagian muslim Aceh sering tidak adil dan proporsional.
Memahami Aceh dengan syariat Islamnya, maka kita akan cukup miris dengan perkembangan yang terjadi dalam keseharian masyarakatnya. Main hakim sendiri menjadi trend bagi sebagian kelompok masyarakat dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran syariat di lapangan. Pelanggar syariat, yang kedapati warga akan menjadi bulan-bulanan massa, dibal-bal, digebuk, ditonjok ramai- ramai, diceburkan ke selokan, dimandikan, diarak keliling kampung. Setelah puas, baru kemudian diserahkan kepada pihak Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi. Perilaku masyarakat yang seperti itu, sama sekali tidak mencerminkan Aceh yang bersyariat, malah menjatuhkan dan merusak citra Islam itu sendiri. Ironinya, mereka yang main hakim sendiri atas nama syariat justru banyak dari orang-orang yang dalam kesehariannya justru bukan tipe warga taat menjalankan agamanya.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili yang saya kutip di Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M, menyatakan, kemungkaran tidak boleh diubah dengan cara kekerasan. Bentuk kekerasan disebutkan Syaikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili sebagai sebuah bentuk kemungkaran tersendiri. Mengubah kemungkaran dengan kekuatan tangan merupakan hak Waliyul Amr (umara). Tindakan melampaui batas yang dilakukan oleh sebagian orang terhadap tempat-tempat maksiat, (yakni) dengan menghancurkan dan membakarnya, atau juga tindakan melampaui batas seseorang dengan melakukan pemukulan, merupakan kemungkaran tersendiri, dan tidak boleh dilakukan. "Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya." (al Hadits).
Makna kemampuan yang disebutkan dalam hadits ini, bukan seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, yaitu kemampuan fisik untuk memukul atau membunuh. Kalau demikian yang dimaksudkan, maka kita semua dapat memukul. Namun, apakah benar yang dimaksud seperti ini? Kemampuan yang dimaksudkan adalah kemampuan syar'iyah. Yang berhak melakukannya ialah orang yang memiliki kemampuan syar'iyah.
Dengan demikian, perbuatan melampaui batas yang dilakukan oleh sebagian orang, baik dengan memukul, memotong tangan atau menghancurkan tempat-tempat maksiat yang dilakukan seperti yang banyak terjadi sekarang ini merupakan pelanggaran. Orang yang melihat kemungkaran atau melihat pelaku kemungkaran, hendaknya melaporkannya kepada pihak yang bertanggungjawab, atau para ulama atau para dai, untuk selanjutnya diserahkan kepada yang memiliki wewenang. Kemudian akan diselidiki, sehingga dapat diatasi dengan cara yang tepat.
Perlu kebijakan yang arif dalam mencitrakan Islam sebagai agama yang damai. Jika berbagai tindak kekerasan atas nama syariat dalam merespon kemaksiatan masih saja terjadi di Aceh, tidak mustahil citra agama Islam yang luhur ini justru dirusak perlahan dari negeri Serambi Mekkah, negeri dimana Islam bermula jaya dan tersebar ke Nusantara.
Jika demikian, dimana gambaran kekerasan atas nama syariat terus terjadi, maka orang-orang Islam di Aceh, termasuk santri, tengku-tengku, ustadz-ustadz, dan kita termasuk berdosa karena menjadi bagian dari orang-orang yang menodai citra Islam itu sendiri. Jika sebagian saudara kita masih keukeuh berlaku keras dalam menyelesaikan masalah atas pelanggaran syariat, maka kita di Aceh jangan ikut-ikutan mencitrakan Islam dengan kekerasan. `Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk)'. Wallahu a'alam

*Tulisan ini dimuat juga di Harian Serambi Indonesia

Post a Comment

Previous Post Next Post