Rabu lalu, saya diundang ke acara kenduri Maulid Nabi Muhammad Saw di Cot Geundruet, Blangbintang Aceh Besar. Keluarga besar isteri saya, selain banyak mendiami kawasan Barat Selatan, juga terdapat di kawasan ini.
Kenduri kali ini cukup spesial bagi warga Cot Geundreut, karena rupanya ada tamu khusus yang datang dari BRR. Rupanya, saya lihat disana ada Pak Kuntoro Mangkusubroto lagi bincang-bincang bersama tokoh masyarakat Blangbintang. Tak banyak yang saya bisa dengar dari obrolan Kuntoro dengan warga, selain riuh dengan suara orang makan, saya memang lagi konsentrasi ke hidangan maulid di depan mata. Belum sempat, menyuapkan makan ke mulut, tiba-tiba Pak Cik saya memanggil dari kejauhan, meminta saya bergabung dengan kumpulan Pak Kuntoro dan sejumlah orang-orang yang akrab saya lihat di BRR. Wah, sebenarnya sih saya ingin bebas saja tak usah resmi-resmi dengan para penggede kampung dan penggede BRR. Tapi nggak enak lah, menolak ajakan pak Cik yang berulangkali memanggil.
Dalam hati, mungkin setelah acara makan-makan banyak yang bisa saya tanyakan ke Kuntoro. Sekalian juga saya mau minta maaf jika tulisan saya yang akan datang agak tak enak dibaca pak Kuntoro karena kritiknya sudah terlalu pribadi, tidak lagi lembaga. Saat itu saya sedang menyiapkan judul tulisan KUN PAYAH KUN (bukan KUN FA YAKUN judul film)
Makan sudah selesai, Pak Kuntoro sempat menyapa saya dengan senyumannya yang khas itu lho!. Saat saya asyik ngobrol dengan tetua kampung, tiba-tiba Pak Kuntoro mohon pamit untuk meninggalkan acara maulid. Serentak para tetua kampung bersalaman dan mengucapkan terima kasih kepada Kuntoro yang mau singgah di gubuknya orang-orang kampung Cot Geundreut. “Mas Arief masih di Serambi kan? Tiba-tiba Kuntoro menyapa saya. Saya jawab, “Masih pak,”. Lalu Kuntoro memegang tangan saya dan mengajak keluar turun dari balai yang digunakan makan-makan. Dalam langkah menuju mobil yang ditumpanginya bersama para pembesar-pembesar BRR. Kuntoro menyelipkan selembar amplop ke tangan saya. “Ini apa pak?, tanya saya ke Kuntoro. “Kami kan mau meninggalkan Aceh, karena BRR sudah mau selesai, jadi tolonglah diterima Mas Arief, sebagai tanda terima kasih kami kepada para wartawan,” katanya.
Wah!, saya nggak bisa menerima amplop itu. Saya kembalikan lagi ke Kuntoro. Tetapi, dia kemudian mengiba agar saya menerima amplop itu. Dorong-mendorong amplop antara tangan saya dan Kuntoro terjadi cukup lama. Hingga akhirnya Kuntoro memasukan amplop itu ke saku celana saya. Saya benar-benar tidak bisa berkutik. Akhirnya amplop itu, memang benar-benar ada di saku celana saya. Kuntoro pun pergi meninggalkan kerumunan orang-orang yang sedari tadi rupanya melihat saya dan Kuntoro tarik menarik amplop. Saya pun kembali ke kumpulan tetua kampung, naik ke bale-bale sekedar ngobrol saja dengan sejumlah warga.
Tiba saatnya harus pergi, saya juga minta pamit ke Pak Cik saya yang kebetulan seorang teungku imum di sana. Sebelum menghidupkan mesin kereta. Saya coba rogoh amplop pemberian Kuntoro. Dalam hati saat itu, terpikir, kalau dalam amplop ini adalah uang lebih baik saya berikan untuk shadaqah ke masjid saja lah. Tetapi begitu saya buka, kaget juga. Isinya lima buah berlian yang berkilauan memancarkan cahaya dan dua buah permen loly berwarna kemasan biru. Sementara bingung apa yang harus saya lakukan dengan berlian itu, saya ambil satu permen loly, lalu saya kunyah. Ketika saya gigit dengan maksud agar segera pecah itu permen, malah gigi saya kesakitan dan saat itu pula mulut saya tiba-tiba dipenuhi dengan jarum jahit. Darah keluar dari sela-sela gusi dan lidah, sementara puluhan jarum jahit terus merangsek masuk ke tenggorokan. Seperti terus ada yang mendorongnya ke dalam perut. Saat itu saya benar-benar panik, saat bernapas maka jarum-jarum itu dengan sangat mudah terus masuk ke tenggorokan. Saya coba tahan napas, jarum itu malah semakin banyak terserak di antara gigi, gusi dan di balik lidah. Walhasil mulutku memang tersumpal dengan jarum. Dari kejauhan, dari dalam mobil, Kuntoro dan kawan-kawan pembesar BRR hanya tersenyum melihat kejadian yang menimpa saya.
Saya tak kuat menahan nyeri, akhirnya saya menjerit sejadi-jadinya. Warga ramai-ramai mencoba memberi pertolongan. Sampai akhirnya terasa ada yang memukul-mukul ke punggung saya beberapa kali, pukulan itu semakin keras, terakhir dalam kesakitan yang sangat pukulan itu diiringi suara, “Aa bangun!, udah adzan shubuh,’”
Astaghfirullah, ternyata saya hanya mimpi. Rupanya yang pukul punggungku adalah istri saya yang sedari tadi katanya mencoba membangunkan saya yang mengerang seperti kesakitan.
Tanda apa ini?, Wallahu A’lam
Darusalam, 14 Mei 2008
Kenduri kali ini cukup spesial bagi warga Cot Geundreut, karena rupanya ada tamu khusus yang datang dari BRR. Rupanya, saya lihat disana ada Pak Kuntoro Mangkusubroto lagi bincang-bincang bersama tokoh masyarakat Blangbintang. Tak banyak yang saya bisa dengar dari obrolan Kuntoro dengan warga, selain riuh dengan suara orang makan, saya memang lagi konsentrasi ke hidangan maulid di depan mata. Belum sempat, menyuapkan makan ke mulut, tiba-tiba Pak Cik saya memanggil dari kejauhan, meminta saya bergabung dengan kumpulan Pak Kuntoro dan sejumlah orang-orang yang akrab saya lihat di BRR. Wah, sebenarnya sih saya ingin bebas saja tak usah resmi-resmi dengan para penggede kampung dan penggede BRR. Tapi nggak enak lah, menolak ajakan pak Cik yang berulangkali memanggil.
Dalam hati, mungkin setelah acara makan-makan banyak yang bisa saya tanyakan ke Kuntoro. Sekalian juga saya mau minta maaf jika tulisan saya yang akan datang agak tak enak dibaca pak Kuntoro karena kritiknya sudah terlalu pribadi, tidak lagi lembaga. Saat itu saya sedang menyiapkan judul tulisan KUN PAYAH KUN (bukan KUN FA YAKUN judul film)
Makan sudah selesai, Pak Kuntoro sempat menyapa saya dengan senyumannya yang khas itu lho!. Saat saya asyik ngobrol dengan tetua kampung, tiba-tiba Pak Kuntoro mohon pamit untuk meninggalkan acara maulid. Serentak para tetua kampung bersalaman dan mengucapkan terima kasih kepada Kuntoro yang mau singgah di gubuknya orang-orang kampung Cot Geundreut. “Mas Arief masih di Serambi kan? Tiba-tiba Kuntoro menyapa saya. Saya jawab, “Masih pak,”. Lalu Kuntoro memegang tangan saya dan mengajak keluar turun dari balai yang digunakan makan-makan. Dalam langkah menuju mobil yang ditumpanginya bersama para pembesar-pembesar BRR. Kuntoro menyelipkan selembar amplop ke tangan saya. “Ini apa pak?, tanya saya ke Kuntoro. “Kami kan mau meninggalkan Aceh, karena BRR sudah mau selesai, jadi tolonglah diterima Mas Arief, sebagai tanda terima kasih kami kepada para wartawan,” katanya.
Wah!, saya nggak bisa menerima amplop itu. Saya kembalikan lagi ke Kuntoro. Tetapi, dia kemudian mengiba agar saya menerima amplop itu. Dorong-mendorong amplop antara tangan saya dan Kuntoro terjadi cukup lama. Hingga akhirnya Kuntoro memasukan amplop itu ke saku celana saya. Saya benar-benar tidak bisa berkutik. Akhirnya amplop itu, memang benar-benar ada di saku celana saya. Kuntoro pun pergi meninggalkan kerumunan orang-orang yang sedari tadi rupanya melihat saya dan Kuntoro tarik menarik amplop. Saya pun kembali ke kumpulan tetua kampung, naik ke bale-bale sekedar ngobrol saja dengan sejumlah warga.
Tiba saatnya harus pergi, saya juga minta pamit ke Pak Cik saya yang kebetulan seorang teungku imum di sana. Sebelum menghidupkan mesin kereta. Saya coba rogoh amplop pemberian Kuntoro. Dalam hati saat itu, terpikir, kalau dalam amplop ini adalah uang lebih baik saya berikan untuk shadaqah ke masjid saja lah. Tetapi begitu saya buka, kaget juga. Isinya lima buah berlian yang berkilauan memancarkan cahaya dan dua buah permen loly berwarna kemasan biru. Sementara bingung apa yang harus saya lakukan dengan berlian itu, saya ambil satu permen loly, lalu saya kunyah. Ketika saya gigit dengan maksud agar segera pecah itu permen, malah gigi saya kesakitan dan saat itu pula mulut saya tiba-tiba dipenuhi dengan jarum jahit. Darah keluar dari sela-sela gusi dan lidah, sementara puluhan jarum jahit terus merangsek masuk ke tenggorokan. Seperti terus ada yang mendorongnya ke dalam perut. Saat itu saya benar-benar panik, saat bernapas maka jarum-jarum itu dengan sangat mudah terus masuk ke tenggorokan. Saya coba tahan napas, jarum itu malah semakin banyak terserak di antara gigi, gusi dan di balik lidah. Walhasil mulutku memang tersumpal dengan jarum. Dari kejauhan, dari dalam mobil, Kuntoro dan kawan-kawan pembesar BRR hanya tersenyum melihat kejadian yang menimpa saya.
Saya tak kuat menahan nyeri, akhirnya saya menjerit sejadi-jadinya. Warga ramai-ramai mencoba memberi pertolongan. Sampai akhirnya terasa ada yang memukul-mukul ke punggung saya beberapa kali, pukulan itu semakin keras, terakhir dalam kesakitan yang sangat pukulan itu diiringi suara, “Aa bangun!, udah adzan shubuh,’”
Astaghfirullah, ternyata saya hanya mimpi. Rupanya yang pukul punggungku adalah istri saya yang sedari tadi katanya mencoba membangunkan saya yang mengerang seperti kesakitan.
Tanda apa ini?, Wallahu A’lam
Darusalam, 14 Mei 2008