Isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tanpa terasa belakangan ini mulai mempengaruhi berbagai sektor ekonomi. Meski kenaikan itu belum resmi adanya, tetapi respons pasar atas isu ini cukup signifikan. Belum apa-apa, sejumlah pedagang pun, mau tidak mau manut pada aturan yang berlaku kolektif dan responsif. Mereka wajib menaikan harga jual barang. Meski cara ini menyusahkan banyak orang, tetapi itulah kenyataan yang terjadi hari ini.
Ibu-ibu di Banda Aceh terpaksa mengerlingkan jidat ketika harga sejumlah bahan pokok di beberapa pasar tradisional ternyata sudah mengalami kenaikan harga. Dengan enteng, para pedagang juga akan mengelak dan menyalahkan keadaan yang juga berat dialaminya. "Mau apalagi, barang dari Medan-nya juga sudah naik, kita nggak mungkin diam. Ya, harus naik juga," Alasan ini, belakangan kerap terdengar dari sejumlah pedagang di pasar dalam Kota Banda Aceh.
Pasar memang sering lebih cepat merespons berbagai isu yang datang menerpa jejaring kehidupan manusia. Bukan hanya sekadar isu kenaikan BBM saja, banjir yang datang tiba-tiba di wilayah perbatasan dan mengganggu kelancaran pasokan kebutuhan pokok, sangat besar mempengaruhi kenaikan harga. Dari sinilah memang, hukum ekonomi bermula, semakin susah barang didapat, semakin mahal harganya. Ketika barang bejibun harga pun tak ada artinya.
Isu kenaikan harga BBM yang masih dalam perdebatan saat ini, ternyata juga banyak mempengaruhi berbagai sektor kehidupan di Aceh. Para nelayan mulai kebingungan mendapatkan jatah solar, karena sejumlah SPBU memberikan aturan ketat untuk tidak melayani para pembeli dengan jeriken. Selain itu, stok BBB berbagai jenis di sejumlah SPBU mulai terbatas dan mengakibatkan antrean panjang setiap harinya terjadi. Dalam keadaan seperti ini, perilaku-perilaku nakal kerap kali diperankan sejumlah oknum. Mereka mulai menimbum BBM, menunggu kenaikan harga, sehingga untung yang didapat akan lebih besar.
Isu kenaikan BBM memang membuat bingung semua orang, tingkat inflasi yang cukup tinggi di Aceh saja sudah lumayan pening dirasakan para pelaku pasar, terutama oleh masyarakat sebagai korban kebijakan pasar yang baru saja bangkit dari keterpurukan akibat bencana tsunami. Bila kenaikan harga BBM ini terjadi, maka taksiran awal banderol premium bakal melonjak dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter pada Juni, dan langsung mengikuti harga pasar pada September nanti. Demikian juga halnya dengan solar. Pada Juni naik dari Rp 4.300 per liter jadi Rp 5.500.
Isu kenaikan BBM memang taruhan penting bagi kredibilitas kepemimpinan SBY-JK, tetapi taruhan yang sesungguhnya adalah taruhan atas nasib rakyat Indonesia yang masih banyak berada pada posisi miskin. Rakyat Indonesia, termasuk di Aceh akan sangat merasakan berat dari dampak kenaikan ini. Berbagai kalangan, lintas elemen, dalam beberapa pekan terakhir rajin menyuarakan penolakan atas rencana ini. Penolakan terhadap kenaikan harga BBM disebabkan tindakan pemerintah itu hanya akan menambah jumlah masyarakat miskin dan pengangguran di Indonesia. Pemberian BLT sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM juga tidak menolong rakyat dari keterpurukan.
Pemerintah boleh berwacana dengan beragam argumen untuk mewujudkan rencananya itu, dengan dalih penyelamatan APBN. Tetapi percayalah, bahwa sesungguhnya yang paling berat merasakan semua ini adalah rakyat di akar rumput, yang untuk bertahan hidup saja beratnya minta ampun. Mereka saat ini sedang bingung, sama dengan bingungnya pengangguran mencari kerja yang belum didapat itu. Bingung, Bingung Mak (BBM)!
------------------------------
foto : istimewa