Atu Lintang Disulut


Atu Lintang, Aceh Tengah, tiba-tiba mencekam. Tidak pernah disangka-sangka dari daerah berhawa dingin itu ada kobaran amarah yang dilampiaskan ke ranah publik. Nyawa melayang, sebagiannya hangus terbakar. Inilah potret keberingasan anak manusia yang tidak lagi bersendi kepada agama yang seharusnya menjadi anutan. Dalam Islam, darah saudara seiman haram tertumpah tanpa sebab. Harta dan kehormatan, seharusnya saling dijaga. Berkasih sayang sejatinya menjadi sikap dari masyarakat. Tetapi, di sana, yang disuguhkan justru potret kelam. Atu Lintang mencekam, darah tertumpah.
Hening, semua orang diselimuti ketakutan apa gerangan yang akan terjadi kemudian. Insiden Atu Lintang, membuka lembaran baru dari luka lama yang belum sembuh sempurna. Dulu, masyarakat di Atu Lintang, pernah cemas berkepanjangan ketika desingan peluru dan nyawa tidak lagi berharga dalam kubangan konflik. Kini kecemasan itu kembali dirasakan warga di sana, bahkan informasi terakhir menyebutkan sejumlah warga yang beraktivitas di kebun, membuka lahan di pedalaman hutan, memilih kembali ke kampung berkumpul bersama keluarga. Mereka khawatir ada sesuatu hal yang tidak diinginkan. Diam diri di rumah adalah pilihan sementara, ketika suasana masih tak menentu. Hawa sejuk di Atu Lintang, tidak berarti suasana di sana sesejuk aslinya. Ada keluarga korban yang sedang berduka ditinggal salah satu anggota rumahnya yang meninggal atas kesewenangan nafsu sekelompok orang.
Atu Lintang, memang sedang berduka dan entah sampai kapan duka itu akan terobati. Padahal, hawa damai baru saja berhembus, seiring dengan penandatanganan MoU Helsinki. Masyarakat bahkan belum sepenuhnya menikmati ketenangan itu. Tetapi, pekan lalu, ketenangan itu tiba-tiba harus kembali terusik oleh ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab yang mencoba memantik konflik baru, tentu dengan isu dan objek yang--secara logika- -mudah untuk disulut. Di Atu Lintang, yang menjadi korban adalah anggota KPA wilayah tersebut. Mereka adalah bagian dari kelompok yang dalam perjanjian Helsinki mendapat perhatian mengintegrasikan diri dalam masyarakat. Secara kasat mata, menyulut KPA, akan sangat berpengaruh terhadap proses damai yang sedang berlangsung, karena mereka merupakan bagian dari proses damai.
Dalam sebuah jumpa pers bersama sejumlah LSM di Banda Aceh, Senin (3/3) lalu, satu sikap disuarakan bersama oleh unsur LSM tersebut. Mereka meminta pihak kepolisian bekerja optimal dalam menyelesaikan insiden di Atu Lintang. Polisi, secara profesional meski bertindak cepat agar insiden itu tidak melahirkan masalah lain sebagai efek samping dari peristiwa Atu Lintang. Dalam masa peralihan dari konflik ke alam damai, Aceh memang rentan untuk disulut. Pascaperdamaian, sejumlah kasus yang menyuguhkan kekerasan juga pernah terjadi di Kecamatan Juli, Bireuen. Modelnya nyaris sama dengan insiden Atu Lintang, sekelompok orang dengan mengendarai truk, bersebo tiba-tiba menyerang dengan gerak cepat, membacok korban dengan parang.
Sejumlah LSM menilai, selama ini proses reintegrasi pascadamai tidak dibarengi dengan rekonsiliasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pemerintah dan juga berbagai pihak, sering secara sadar tidak peka atas persoalan ini. Banyak persoalan yang terjadi di masyarakat saat konflik memanas di Aceh, ini kemudian tidak menjadi prioritas utama untuk diselesaikan setelah perdamaian Aceh. Sejatinya, semua pihak termasuk pemerintah, polisi, ulama, dan tokoh masyarakat lainnya bekerjasama secara simultan memandu proses rekonsiliasi demi kepentingan bersama. Belajar dari kasus Atu Lintang, maka konflik lanjutan tidak akan terulang di tempat lain jika penyelesaian berbagai kasus kekerasan yang ditangani polisi dapat dengan cepat dirampungkan. Pihak yang melakukan penyerangan dan otak pelaku kekerasan ini harus segera diciduk dan diberikan hukuman yang setimpal. Keluarga korban harus mendapat keadilan---selain santunan dari pemerintah--dari apa yang telah menimpa mereka. Dendam tidak akan muncul, jika keadilan didapatkan dari proses hukum ini. Keluarga korban akan ikhlas menghadapi ujian ini, jika keadilan berpihak kepada mereka, karena adanya sikap ikhlas menerima kenyataan yang biasanya bermula dari nilai-nilai keadilan yang terpenuhi keluarga korban. Semoga ini untuk yang terakhir kalinya darah tumpah di negeri Serambi Mekkah.

Foto : Dok Serambi Indonesia

Post a Comment

Previous Post Next Post