Belajar dari Sejarah


Historia Vitae Magistra, sejarah adalah guru kehidupan. Begitu kata pepatah dalam bahasa Yunani. Sebuah kearifan dari satu bangsa dapat dilihat sejauh mana bangsa tersebut mampu menghargai sejarah masa lalu perjalanan bangsanya serta menjadikanya sebagai barometer kehidupan untuk membangun ke arah yang lebih bermartabat.
Sebuah bangsa yang sama sekali tidak mau tahu soal sejarah masa lalunya, maka dipastikan bangsa itu tidak akan dapat bertahan hidup membangun sebuah komunitas yang berperadaban maju. Jika pun bisa hidup, maka hidupnya sebuah bangsa yang tak kenal sejarah dari mana mereka berasal hanyalah sebuah roda peradaban yang tidak memiliki ruh sama sekali.
Hukum itu berlaku bagi bangsa mana saja, termasuk bagi Aceh. Jika masyarakat yang menghuni daratan Aceh mulai pesisir timur, barat hingga yang mendiami pegunungan, saat ini tidak mau tahu atau sedikit peduli akan peninggalan warisan sejarah Aceh masa lalu, maka kearifan dalam bingkai masa keemasan yang pernah ditoreh para pendahulu bangsa Aceh tidak akan pernah terulang kembali. Memang, ada beragam pendapat mengenai diskursus soal kajian sejarah. Satu pendapat mengatakan bahwa sejarah akan terus berulang seperti yang dipentaskan semula oleh para pendahulunya. Tetapi, pendapat lain juga mengatakan bahwa keemasan sejarah sebuah bangsa tidak akan terulang kembali dimasa yang akan datang. Keemasan masa lalu sebuah bangsa, termasuk Aceh, hanyalah penggalan peristiwa pada masanya yang tidak mungkin lagi tercapai dikemudian hari. Terlepas dari itu, ada satu jalan tengah yang bisa diambil dalam menyikapi sejarah masa lalu sebuah bangsa. Aceh misalnya, keemasan yang pernah ditoreh para pendahulu Aceh dimasa lalu sama sekali tidak akan mengalami reinkarnasi kebentuk yang sama. Namun, masyarakat Aceh hari ini dapat belajar dari sejarah masa lalu leluhurnya. Yang diharapkan bukan wujud asli dari pengulangan sejarah, namun adanya hikmah yang dapat diambil masyarakat Aceh hari ini dalam memenangi pertarungan mencapai puncak keemasan dalam peradaban manusia. Sehingga spirit keemasan masa lalu Aceh yang gemilang dapat ditranspormasikan dalam kehidupan modern abad ini, tentunya dengan belajar dan bersikap arif atas bukti peninggalan sejarah masa lalu yang banyak terserak di beberapa tempat, termasuk di Banda Aceh.
Semangat ini pula yang diapresiasi sekelompok kawula muda pada Minggu (26/8) lalu yang melakukan Napak Tilas Warisan Sejarah Banda Aceh.
Digagas oleh Komunitas Lestari Pusaka Aceh (Aceh Heritage Community) bekerjasa dengan berbagai pihak termasuk Museum Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Yayasan Peutjut-Fonds, BRR Aceh-Nias, dan Mapala Unsyiah, kegiatan Napak Tilas yang diikuti puluhan peserta dari berbagai kalangan ini perlahan tapi pasti, diharapkan mampu memberikan informasi yang benar dari berbagai peninggalan sejarah yang ada di Kota Banda Aceh.
Sederhana, namun Napak Tilas Warisan Sejarah Banda Aceh, Minggu lalu itu, sedikitnya dapat membuka semua pihak bahwa Aceh memiliki sejarah masa lalu yang gemilang. Langkah itu, hanyalah bagian kecil dari upaya menemukan jatidiri bangsa Aceh yang sebenarnya. Memang, yang didapat hanyalah seonggok batu nisan dari makan Sultan dan raja-raja Aceh atau kemegahan lain yang terwujud dari Kandang Gunongan dan Taman Putroe Phang, tetapi sebagai manusia yang berpikir maka bukti-bukti peninggalan sejarah masa lalu Aceh adalah wujud bahwa pada masanya, para leluhur kita sudah memberikan yang terbaik bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan atas rakyatnya.
Mereka para pelaku kegemilangan sejarah Aceh, hidup bukan di alam serba canggih dengan berbagai dukungan piranti lunak seperti sekarang ini. Maka dari itu, alangkah naifnya kita sebagai generasi penerus dan pelanjut generasi Aceh, jika sama sekali tidak mampu memberikan kontribusi, berfikir, dan bekerja keras bagi kemajuan Aceh dimasa yang akan datang. Dan satu hal yang penting, membangun peradaban yang gemilang untuk kemajuan Aceh ke depan mesti dengan mempertahankan kearifan (budaya) lokal yang dimiliki Aceh, bukan justru menjual harga diri kita dan latah atas kehendak zaman.(arif ramdan)/Sumber Foto : KITLV Leiden, 11776

Post a Comment

Previous Post Next Post