Anak Merah Putih di Lampu Merah


Di tengah deru kendaraan bermotor yang lalulalang, di perempatan jalan Simpang Surabaya, Banda Aceh, anak-anak itu tampak bercanda riang dengan sesama temannya. Namun, ketika lampu merah menyala, mereka pun menyebar sambil mendekati pengemudi kendaraan bermotor yang sedang berhenti, untuk menjajakan Bendera Merah Putih.

PEMANDANGAN tawa riang anak-anak penjaja Bendera Merah Putih itu, hari-hari belakangan ini, kerap terlihat, tidak hanya di lampu merah Simpang Surabaya, tapi juga di berbagai perempatan jalan lain dalam kota Banda Aceh. Mereka, seakan tahu persis memanfaatkan peluang bisnis, menjelang Peringatan HUT Ke-62 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bayu Indra Pratama dan Haris Rahmat, misalnya, terlihat begitu lincah menyelinap di antara deretan kendaraan bermotor yang berhenti di perempatan jalan Simpang Surabaya. "Lima ribu bang...," terdengar suara Bayu menawarkan Bendera Merah Putih ukuran kecil kepada seorang sopir yang mengendarai mobil sedan. Sementara Haris berlari ke arah kendaraan lainnya, sambil mengetuk kaca mobil, Haris mencoba menawarkan bendera merah putih ukuran kecil yang juga dijualnya.
Bayu dan Haris yang masih duduk di bangku SD Negeri 12 Banda Aceh itu, ternyata tidak sendiri. Sebab, bersama mereka ada sekitar 11 orang bocah lainnya yang memanfaatkan waktu luang untuk berjualan di pinggiran jalan. Mereka mengaku mendapat Rp 20 - Rp 25 ribu, sebagai komisi dari bos pemiliki bendera yang mereka jual. "Uangnya untuk jajan saja bang, kadang dapat Rp 20 ribu sehari," kata Bayu sambil mondar-mandir menawarkan bendera di tangannya.

Lebih serius
Bocah-bocah itu hanyalah bagian kecil dari berjubelnya pedagang bendera merah putih menjelang peringatan HUT Ke-62 Republik Indonesia --Jumat 17 Agustus mendatang-- yang mulai marak di hampir setiap sudut Kota Banda Aceh. Ada yang lebih serius berjualan merah putih selain Bayu dan kawan-kawanya, yang hanya mengisi waktu luang setelah pulang sekolah. Sebut saja Toni (23) pemuda asal Garut, Jawa Barat ini sudah hampir dua pekan berada di Banda Aceh.
Toni yang mangkal di Jalan ST Alaidinsyah, Banda Aceh, sengaja datang ke Banda Aceh untuk berjualan bendera. Banyak corak dan ukuran bendera yang dijual Toni. Dengan memanfaatkan rimbunnya pepohonan yang ada di ruas jalan itu, ia menggelar bendera beragam ukuran. Mulai dari ukuran lapangan, ukuran reguler untuk halaman atau di dalam rumah (indoor flag), bendera meja, sampai yang segitiga.
Toni hanyalah pedagang musiman. Setiap awal Agustus, ia mengaku beralih profesi menjadi pedagang bendera. Kebiasaanya bertani dan menjadi tukang ojek di kampungnya di Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, terpaksa ia tinggalkan untuk sementara. Toni tidak sendiri, sejak akhir Juli lalu, dia bersama 50 orang pedagang bendera lainnya dari Garut sengaja bertaruh nasib di Banda Aceh. "Agustus tahun lalu kami berjualan di Medan. Sekarang ingin mencoba saja di Aceh dan ikut memeriahkan Agustus," katanya.
Di Banda Aceh, rombongan penjual bendera yang datang bersama Toni, menyewa sebuah rumah sederhana di Kawasan Setui, Banda Aceh seharga Rp 100 ribu selama musim berjualan. Mereka akan berada di Banda Aceh hingga tanggal 16 Agustus, sehari menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia.

Melanglang ke beberapa kota
Toni yang mengaku baru memiliki satu anak ini, sudah berjualan bendera sejak tahun 1987. Saat itu, Toni masih duduk di bangku SD. Beberapa kota pernah disinggahinya saat berjualan bendera. Mulai dari kampungnya di Garut, Toni merambah ke Bandung, Jakarta, Jawa Tengah, Medan, hingga di tahun 2007 ini menginjakan kaki di Aceh.
"Saya ikut berjualan saja. Hanya mendapat komisi dari bendera yang saya jual. Saya sudah melanglang ke beberapa kota untuk berjualan bendera di bulan Agustus seperti ini, " kata Toni.
Toni hanyalah pedagang --dia bukan juragan (tauke)-- pemilik bendera yang dijualnya tersebut datang bersama Toni dan 50 pedagang lainnya dari Garut. "Kami bawa 600 kodi bendera dalam berbagai bentuk, kami bagi-bagi kelompok dan menyebar di beberapa titik di Banda Aceh dan ada yang ke Sabang juga," kata Toni.
Para pedagang pendatang itu mematok harga bervariasi dari setiap bendera. Untuk jenis umbul-umbul ukuran 3 meter, misalnya, mereka jual dengan harga Rp 270.000, ukuran 90 centimeter Rp 20.000, dan ukuran 180 centimeter dijual dengan harga Rp 75.000. Harga tersebut tergantung penawaran dimuka, bisa saja mereka mematok harga lebih tinggi dari harga resmi. "Tergantung pembeli, kalau pas lagi jodohnya, biasanya jarang banyak tanya mereka langsung setuju dengan harga yang kita tawarkan," kata seorang pedagang dari Garut.
Penjual Bendera Merah Putih di Banda Aceh, ternyata juga dilakukan oleh beberapa pedagang lokal, seperti Marzuki yang menggelar daganganya di Jalan Mohammad Jam menghadap ke Masjid Raya Baiturrahman. Hari-hari biasa di luar bulan Agustus, Marzuki berjualan buah-buahan di Jalan Dipenogoro, Banda Aceh. "Kalau bulan Agustus seperti sekarang saya memilih jualan bendera, karena memang cukup ramai pembeli," katanya.
Berjualan bendera merah putih menjelang detik-detik peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus, memang menjadi kesan tersendiri. Para pedagang musiman ini sering ketiban rezeki nomplok dari kain merah putih tersebut. "Dulu pernah mendapat untung banyak dari menjual bendera, hingga dapat membeli sepeda motor," kata Zamzam Fatoni, seorang pemuda asal Bandung.
arif ramdan)

Post a Comment

Previous Post Next Post