Aceh Go Blog! tapi ...



"Rencana pendaratan Hasan Tiro di Aceh Selatan dengan helikopter pribadi yang terbang dari Swedia tidak pernah terwujud, kecuali tumbangnya puluhan pohon penyangga air yang telah tumbuh ratusan tahun di negeri Tuan Tapa tersebut,"



MENARIK perhatian pembaca dengan memilih judul yang eye catching dan marketable adalah jurus yang biasa dimainkan para penulis buku, seperti yang dilakukan Sehat Ishan Shadiqin pada Buku berjudul Aceh Go-Blog!


Cukup provokatif, bahkan jika dinarasi dengan lisan tanpa memperlihatkan bendanya [bukunya], bisa jadi memantik kesalahpahaman saat menyebut ‘Aceh Goblog’ padahal yang dimaksud Aceh Go-Blog! Sebagaimana judul pada buku tersebut. Terbit Mei 2019, buku yang proses kelahirkan yang dibidani penerbit Bandar Publishing, saat ini sudah beredar dan bertengger di rak-rak toko buku jaringan Bandar.


Sehat Ihsan, adalah penulis produktif yang karya-karyanya tersebar di banyak buku dan media massa di Aceh dan nasional, termasuk publikasi ilmiah lainnya. Jenis buku ini ada pada kategori bunga rampai, di mana tulisan yang diterbitkan merupakn kumpulan naskah tercecer yang dimiliki Sehat di berbagai media, termasuk media sosial.


Dikategorikan ke dalam isu besar pada setiap bab, Sehat Ihsan membagi tulisanya ke dalam kategori Budaya, Sosial, Agama, Pendidikan, Sejarah, Tsunami, Perjalanan, dan Pembangunan. Dari kategori besar tersebut, dapat dipahami buku ini merupakan sari pemikiran penulis dan bahkan pengalamannya dalam dinamika Aceh yang diingatnya hingga saat ini, seperti sat konflik, tsunami, dan damai Aceh.


Ada beberapa tulisan menarik di buku ini, semisal bagaimana Sehat Ihsan memotret ketokohan Hasan Tiro, tokoh kunci dan deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia yang hidup dan besar di pedalaman Aceh Selatan mengalami satu peristiwa di luar logika saat orang-orang di kampungya menebang pohon berumur ratusan tahun di sekitar rumah hanya untuk melihat proses pendaratan Hasan Tiro dari helikopter. Saat itu warga meyakini Hasan Tiro pulang ke Aceh dan berkeliling menemui rakyatnya, termasuk di Aceh Selatan kampung di mana Sehat Ihsa dilahirkan.


Tentu, rencana pendaratan Hasan Tiro di Aceh Selatan dengan helikopter pribadi yang terbang dari Swedia tidak pernah terwujud, kecuali tumbangnya puluhan pohon penyangga air yang telah tumbuh ratusan tahun di negeri Tuan Tapa tersebut. Kisah ini terekam dalam judul tulisan Hasan Tiro Penyulut Bara, sebuah kesaksian sejarah yang dialami penulis buku ini.


Keseluruhan isi buku ini merupakan gagasan dan ide-ide yang dimiliki Sehat termasuk juga kegelisahan yang ia kemukakan manakala proses pembangunan Aceh justru malah merusak tatanan alam bahkan budaya sekalipun. Bagaimana misal, Sehat momotret pertokoan di Aceh Selatan dan di beberapa kota yang dibangun tanpa menyisakan pepohonan dan menghabiskan kawasan resapan air karena bangunan saling berdempetan. Ini menurutnya, selain tidak ramah lingkungan kawasan tersebut juga menjadi gersang.


Pun, ia juga menyoroti penomena membludaknya siswa sekolah yang masuk ke bimbingan belajar di luar sekolah dengan harga mahal. Ini menjadi tanda tanya, bagaimana proses transfer ilmu oleh guru di sekolah? Jika anak murid harus bimbel lagi. Apa yang diajarkan guru di sekolah, bagaimana model dan sistematikanya? Sementara siswa bimbel banyak mengaku lebih mudah mengerti diajari guru bimbel yang umumnya masih mahasiswa. Hah?


Tema-tema syariah, agama, budaya, pendidikan, dan pengalaman penulis menjelajahi berbagai negara di Asia dan Eropa juga ia ulas. Semuanya bisa dipetik manfaat, setidaknya pengetahuan baru bagi pembaca buku ini. Sebagai alumnus UIN Ar-Raniry, ia juga tidak bisa menahan diri akan kekagumannya menulis sosok cendekiawan muslim, almarhum Prof Shafwan Idris. Panutan yang hingga saat ini belum didapati gantinya di kampus Ar-Raniry.


Kegelisahan, ketidakpuasan, dan solusi bagi masa depan Aceh terekam dari pemikiran Sehat Ishan di buku ini. Meski saat proses menghatam buku ini sesekali kita terganggu dengan banyak salah ketik di beberapa tulisan, termasuk pada tulisan yang berkisah bagaimana editor jurnal ilmiah harus ekstra kerja keras untuk menghasilkan tulisan yang baik.


Terakhir, pemilihan judul Aceh Go-Blog! bagi buku ini menjadi kurang relevan karena dari awal hingga akhir kita tidak akan menemukan satupun tulisan yang mengulas bagaimana orang Aceh mulai masuk wilayah dunia digital atau mengupas sesi belajar internet dan bersosial media, setidaknya diperkuat tampilan cover buku. Ternyata, Aceh Go-Blog! tapi...bukan. [arif ramdan]


 

Post a Comment

Previous Post Next Post