Selasa (24/11), kota tua ini cukup dingin, suhu saat itu 15 derajat celcius. Meski orang Turki menyebutnya itu suhu udara biasa dan belum masuk musim dingin, tapi bagi pelancong yang baru menjejak kaki di negeri seribu masjid ini, udara memang tidak begitu bersahabat. Ini juga yang dimanfaatkan pedagang jaket di pinggir jalan, menawarkan kehangatan bagi wisatawan.
“50 Lira saja...murah-murah,” tawaran seorang pedagang mantel menyapa para tamu yang berjalan di trotoar kota. Harga itu akan turun jika kita serius membeli dan menawar serendah-rendahnya. Orang Turki memang pandai membujuk pembeli, mereka melengkapi diri dengan kalkulator, sehingga memudahkan saat seseorang akan membayar dengan dollar atau mata uang selain Lira.
Metro hilir mudik menembus kemacaten pusat kota, jika hari Jumat tiba atau sore menjelang malam Istanmbul tak jauh beda dengan Jakarta. Macet di sana-sini, tetapi transportasi umum yang nyaman tidak membuat penumpang stres dalam kemacetan panjang. Akses internet dengan layanan wifi gratis tak pakai lemot memanjakan para penumpang di sela-sela kemacetan.
Metro hilir mudik menembus kemacaten pusat kota, jika hari Jumat tiba atau sore menjelang malam Istanmbul tak jauh beda dengan Jakarta. Macet di sana-sini, tetapi transportasi umum yang nyaman tidak membuat penumpang stres dalam kemacetan panjang. Akses internet dengan layanan wifi gratis tak pakai lemot memanjakan para penumpang di sela-sela kemacetan.
Sejauh perjalanan di pusat kota, kita dengan mudah bertemu masjid-masjid khas Turki yang jaraknya berdekatan, dengan gaya arsitektur Utsmaniyah pemandangan menjadi lebih hidup. Tak jarang pengunjung salah menebak satu masjid yang sama tetapi ternyata berada di lokasi yang berbeda.
Saat kumandang azan tiba, bersegera ke masjid terdekat, nikmati sensasi berwudhu ala zaman baheula. Kran-kran air tempat bewudhu khas zaman dahulu menyapa kita. Wow!!! dinginya membuat kita terperanjat saat cucuran air pertama mengenai kulit kita.
“Itu belum seberapa ini masih musim normal, kalau sudah tiba musim dingin kita saja tidak sanggup,” kata Ali Altin, pemandu asal Turki yang pernah belajar budaya Indonesia di Yogyakarta selama dua tahun.
Ali cukup fasih berbahasa Indonesia, ia seorang Turki yang dikirim perusahaannya khusus belajar bahasa Indonesia di Yogyakarta. Tugas Ali memandu setiap wisatawan dari negeri-negeri berbahasa Melayu.
Ia cukup mengerti kebiasaan dan gaya orang Indonesia, tak jarang ia ke tempat yang biasa orang Indonesia suka, termasuk ke pasar. Ali juga mewanti-wanti agar di Turki tidak mudah percaya kepada pengemis atau siapa saja yang menawarkan jasa murah.
“Saat di atas nanti, tidak usah tergoda jika ada yang tawarkan barang, atau ada pengemis. Abaikan saja, ada pencopet juga di sini,” kata Ali saat akan naik ke café Pierre Loti, bukit tertinggi di mana kita dapat menikmati pemandangan kota Istanbul sambil minum kopi khas Turki.
Belanja di Grand Bazaar
DI Istanbul, nyesal jika tak berbelanja ke lorong-lorong pasar di Grand Bazaar, orang Turki menulis nama pusat belanja ini Capalicarsi. Tapi, harga barang cukup mahal di sini. Tak pandai menawar, tamatlah riwayat dompet kita sebelum berakhir belanja dari lorong ke lorong pasar ini.
Pedagang Turki memang pandai merayu pembeli, di Grand Bazaar mereka familier dengan wajah Indonesia atau Malaysia. Sapaan Malaysia.. Malaysia!! atau Indonesia! Cukup sering terdengar saat kita melewat depan-depan toko di Grand Bazaar.
Pasar ini sudah berdiri sejak tahun 1455, penanda tahun berdiri bisa kita lihat di pintu masuk utama. Di sini semua barang jenis bisa dibeli, kue-kue khas Turki dengan bentuk yang menggoda, jilbab phasmina yang lagi ngetren di kalangan remaja Indonesia saat ini bisa didapat di Grand Bazaar. Harga? Jangan tanya, tentu mahal karena di negeri yang asli dan dari perajin langsung.
Tapi, anda bisa mencari harga yang murah di lorong-lorong sempit, nah harga barang bisa nego kualitas sama dengan yang dipajang di etalase toko-toko di jalur utama Grand Bazaaar. Jika duit cukup tebal, anda bisa bermanja-manja belanja tanpa harus menawar. Tetapi, tidak salah jika coba membanding tiga sampai lima toko. Nah di toko terakhir, bisa mendapat harga yang cocok.
Biasanya, pelayan akan menawari anda minum atau mencicipi sesukannya, anda akan dibuat betah di dalam toko. Tawaran demi tawaran dibuka setelah satu barang selesai kita beli. Seni berjualan seperti ini,rata dipraktikan semua pedagang di Grand Bazaar. Bahkan mereka tak segan akan memijit-mijit punggung kita sambil mengajak bercerita tentang Indonesia.
Meriahnya Malam di Turki
BERANJAK malam, Istambul semakin ramai hilir mudik orang bepergian. Cafe-cafe disesaki pengunjung. Makan di Turkimemang unik, menu pembuka, menu utama, dan penutup menjadi ciri khas bagaimana orang Eropa memanjakan perutnya.
Tentu, akan terkejut kali pertama makan di Istanbul. Lidah di hari pertama jelas tak bersahabat. Menu pembuka hanyalah sup hangat berbahan, sayuran, dan kacangan-kacangan. Roti yang disajikan, kita celup ke dalam semangkuk sup yang rasanya agak tawar. Tak berasa, alias tak nendang di lidah orang Indonesia.
Di Istanbul juga ada cafe-cafe ternama tersohor seperti Starbuck, sedikit mau murah bisa kongkow di lorong-lorong menikmati kopi Turki. Mau mewah, gaul bersama anak muda melihat gaya bartender menyajikan minuman bisa singgah ke Hardrock Cafe, di Beyoglu, Istanbul.
Remaja-remaja Turki terlihat asyik nongkrong, musik bergenre rock menghentak keras di setiap sudut melalui layar televisi. Di sudut bar pasangan muda-mudi begitu menikmati minuman yang mereka pesan. Gaya Eropa nampak kental di kota ini. Malam Istanbul begitu gemerlap, wanita muda juga terlihat menikmati rokok melawan dinginnya malam di kota seribu Masjid itu.
Pesona negeri Turki memang tengah jadi sorotan dunia, negeri berpenduduk mayoritas muslim ini digadang-gadang mampu menjadi harapan baru bagi bangkitnya dunia Islam.
Gebrakan-gebrakan ke arah itu, terlihat dari berbagai kebijaan pemerintahan saat ini. Tentu,Turki bukan sedang mencari masa keemasaanya, tapi mencoba menapaki kembali masa gemilang yang pernah mereka raih dahulu dalam kendalai Kekhalifahan Utsmani.(arif ramdan)