DINGIN subuh menyapa Madinah, “Kota Nabi” yang bercahaya. Orang-orang hilir mudik ke luar Masjid Nabawi. Para penjaga pintu terlihat duduk santai melihat ke luar-masuk jamaah masjid.
Sementara di dalam masjid tetap saja ramai. Apalagi di Raudhah dan makam nabi, berdesakan jamaah ingin mendekat untuk mengucap salam kepada Rasulullah saw.
Orang-orang menangis, menunduk khusyuk dalam munajat di Raudhah, tempat yang lebarnya hanya 22 x 15 meter persegi.
Masuk ke dalam masjid, sudut-sudutnya berkilau cahaya lampu. Warna emas penghias tiang-tiang penyangga masjid menambah kesan megah dan betapa agungnya rumah Allah itu. Rumah di mana makan Nabi Muhammad saw berada.
“Malaysia, Malaysia?” begitu para petugas kebersihan masjid menyapa. Mereka mengira jamaah Subuh dari Aceh itu asal Malaysia.
Pertanyaan itu, berulang dalam setiap kesempatan. Bukan hanya di kompleks masjid. Saat masuk mal saat berbelanja di lantai bawah hotel kompleks sekitar masjid, juga begitu. Para pedagang menyapa dengan bahasa Indonesia.
Pelataran Masjid Nabawi, Madinah |
“Haji...haji...haji, mampir kurma murah, kurma murah!” teriak pedagang yang menawarkan kurma dan oleh-oleh khas Madinah.
Sapaan Malaysia, Malaysia! kerap terdengar saat serombongan jamaah umrah dari Aceh memerlukan sesuatu untuk dibeli. Para pedagang di sini begitu paham karakter orang Indonesia atau Malaysia dalam berbelanja.
Transaksi begitu mudah dengan bahasa Indonesia. Benar, kabar dari orang-orang yang berhaji tahun lalu. Pedagang di Madinahlebih suka dan menanti kehadiran para peziarah dari Indonesia.
Madinah, Kota Nabi yang bercahaya itu begitu ramah kepada para peziarah. Karakter Arab Madinah cukup lembut. Di kota ini dengan mudah kita temui para pekerja asal Indonesia, mereka tersebar di restoran, hotel, dan para petugas kebersihan Masjid Nabawi.
Suwardi, lelaki asal Banten salah satunya. Ia sudah lebih sepuluh tahun menjadi pekerja di Hotel Millenium Al Aqeeq, Madinah. Ia mengaku betah dan senang bekerja di Kota Nabi tersebut. Simpel saja alasannya, selain bekerja mencari nafkah ia merasa lebih dekat dengan Sang Khalik.
Memberi makan burung di seputaran Masjid Nabawi |
Ia bisa beribadah setiap saat di Masjid Nabawi dan bermunajat di Raudhah, tempat di mana setiap manusia merindukannya untuk bersimpuh dan berdoa kepada Allah Swt. Jika jamaah haji atau umrah asal Indonesia harus berebut ke Raudhah, Suwardi bisa kapan saja memanfaatkan waktu shalat di tempat yang mustajab itu.
Tak heran, saat Subuh bahkan setelahnya menjelang shalat Duha, akan terlihat orang-orang dengan pakaian kaos atau baju seragam hotel dan restoran juga antre shalat dan berdoa di Raudhah itu.
“Kalau umrah sudah tidak terhitung berapa kali, karena setiap ada kesempatan saya pasti umrah ke Mekkah,” ujarnya saat berbagi pengalaman nikmatnya bekerja dan beribadah di Madinah.
Ia juga mengaku kerap memanfaatkan waktu sebelum bekerja untuk shalat Duha dan berdoa di Raudhah. “Kalau setelah kerja, kita biasa masuk ke Raudhah shalat dan berdoa. Berangkat kerja juga begitu Duha dulu di Raudhah,” papar Suwardi.
Lain lagi dengan Asep, pemuda asal Cianjur, Jawa Barat, ini sudah dua tahun bekerja sebagai pramusaji di salah satu kedai kopi. Perawakannya yang kecil, cukup mudah ditebak ia seorang Sunda tulen.
Pekerja membersihkan tiang payung di kompleks Masjid |
Ditemui Rabu (25/11) di tempat kerjanya di Bandara Internasional Prince Mohammad bin Abdul Aziz, Asep berbagi kisah. Dengan gaji 1.500 riyal (sekitar Rp 5,4 juta) ia mengaku cukup ketimbang jadi penganggur di Tanah Air.
“Meski harus kerja 12 jam, tapi makan dan antar jemput ke lokasi bekerja sudah dilayani perusahaan,” ujarnya.
Sementara itu, Sam’an, pemuda asal Lombok yang ditemui Serambi di salah satu gerai makanan di Bandara Madinah juga cukup menikmati pekerjaannya sebagai pelayan toko. Sambil membersihkan kemasan kurma dan mengelapnya, ia berbagi cerita pengalaman menjadi pekerja di Madinah.
“Gaji saya 1.400 riyal, makan dan transportasi sudah ditanggung perusahaan,” ujarnya.
Sam’an juga punya pengalaman yang sama. Ia bisa bekerja dan beribadah di sela-sela kesibukannya. “Alhamdulillah, sudah haji dua kali, kalau umrah mah gak terhitung lagi berapa kali. Asal ada libur saya pasti pergi ke Mekkah,” katanya.
Pekerja kebersihan masjid rata-rata juga begitu. Mereka mengaku senang bekerja sebagai pelayan tamu Allah di Masjid Nabawi.
Anda tak bakal tersesat di Madinah. Kota ini cukup ramah bagi para peziarah. Cukup sedikit bisa berbahasa Arab tentu sangat membantu. Saat masuk pasar, Anda yang berwajah Melayu pasti disapa “Malaysia, Malaysia? Indonesia? Selamat pagi ayo mampir ke sini!”