Berislam dari Rumah


SEJAK diproklamirkan pada 15 Maret 2002 bertepatan dengan 1 Muharam 1423 H pelaksanaan syariat Islam di Aceh terus mendapat perhatian dari berbagai pihak. Bahkan, kritik terus bermunculan melihat gejala sosial yang berkembang di masyarakat saat ini--banyak--tidak sesuai dengan syariat itu sendiri.

Beberapa kritik yang disuguhkan misal, jika anda pergi ke pasar, anda akan melihat kehidupan masyarakat pasar jauh dari kesan syariat. Jika anda penikmat kuliner Aceh, demikian juga adanya. Transaksi kuliner di negeri ini jauh dari kesan syariat. Termasuk juga ketika kita memperhatikan kehidupan masyarakat kita di jalan raya yang jauh dari etika. Kebiasaan berkenderaan di negeri ini, masih jauh dari nilai-nilai masyarakat patuh berlalulintas sebagai cerminan akhlak di jalan.

Realitas sosial di atas, lazim mendapat sorotan dari pemerhati syariat. Tidak jarang, fakta dan argumen yang dikemukakan saat menyoal pelaksanaan syariat Islam justru mengecilkan makna Islam itu sendiri. Kebanyakannya, malah sedang membicarakan aib negeri kita dan kejelekan perilaku orang Islam itu sendiri, alih-alih ikut kontribusi memperbaiki keadaan, yang ada justru memberi peluang bagi sekelompok phobi Islam untuk “memancing di air keruh”.

Persoalan-persoalan yang mengemuka, yang dikaitkan langsung dengan tema Aceh sebagai negeri syariat selayaknya dipandang secara menyeluruh dari berbagai aspek. Gejala a-syariat yang muncul, tidak bisa dikatakan akibat ketidakmampuan pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang bertumpu pada pengambil kebijakan. Banyak soal yang melatarbelakangi gejala-gejala sosial yang tidak bersyariat tersebut. Termasuk, kita. Suka atau tidak juga menjadi bagian dari persoalan syariat Islam di Aceh saat ini.

Bermula dari rumah
Mari kita lihat dari sudut “pemerintahan” terkecil di sekitar kita. Mereka yang sering kita katakan atau kita temui perilakunya tidak bersyariat, lahir atau bermula dari satu komunitas kecil bernama rumah. Anak yang ugal-ugalan di jalan raya saat berkenderaan, gadis remaja bermesum di rumah kontrakan, pejabat yang korup dan suka main perempuan ialah pribadi-pribadi yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan terkecil bernama rumah, di mana di sana dibina sebuah keluarga. Begitu juga para pedagang yang mengurangi sukatan, wartawan dan jaksa bermental pemeras, dokter mata duitan, hingga wakil rakyat “bermental proyek” mereka bermula dari sebuah rumah keluarga.

Mereka yang dibesarkan dari rumah dengan bangunan keluarga harmonis bertumpu pada nilai-nilai akhlak Islam, akan menjadi pribadi bersyariat ketika berada di luar rumah. Gadis remaja, anak muda yang lahir dari didikan keluarga berbasis syariat, etika dan tatakrama, akan keluar rumah sebagai sosok pribadi yang beretika ketika hidup dalam lingkup masyarakat yang lebih luas.

Jika pribadi-pribadi saat ini yang ada dalam bangunan besar bernama “Aceh”, lahir dari rumah-rumah dengan bangunan keluarga berakhlak mulia, maka “Rumah Aceh” sebagai negeri syariat akan diisi manusia-manusia beretika. Mereka bermuara dalam “Rumah Aceh” yang besar dan membawa pribadi-pribadi yang saleh dari sebuah setiap rumah di mana di sana dibina sebuah keluarga berakhlak.

Begitu juga, ketika masing-masing keluarga di rumahnya menyiapkan generasi santun, beretika, dan berakhlak, maka saat keluar rumah menjalani hidup bermasyarakat, anak-anak kita juga akan bertemu dengan orang-orang yang dididik dari rumah yang berakhlak juga.

Sehingga mereka hidup bermasyarakat bersama-sama membawa tatanan akhlak dari rumah masing-masing. Inilah yang kemudian kita sebut ibda binafsik, memulai dari diri kita, memulai dari rumah kita. Islamkan terlebih dahulu bangunan rumah kita, sebelum mengislamkan bangunan rumah yang paling besar (masyarakat).

Pribadi-pribadi yang lahir dari rumah bermasalah, dari keluarga tak beretika, atau dari keluarga yang di dalamnya tidak diajarkan shalat dan nilai-nilai nubuwwah (kenabian), tidak dapat dijamin akan keluar sebagai pribadi yang santun. Meski, bisa jadi seorang anak koruptor mendapat hidayah dan hidup lebih berakhlak ketimbang orangtuanya.

Ketika dari rumah kita sudah memancar cahaya Islam, maka anak-anak kita yang keluar dari rumah menuju pergaulan lebih luas, tidak akan merepotkan orang lain. Tidak akan menjadi target razia busana

muslim di jalan-jalan dan dilihat orang ramai. Jika di rumah diajarkan didikan Islam, artinya orangtua juga menjadi pribadi bersyariat, kita yakin anak-anak gadis di kota ini tidak keluyuran dengan busana minim “menjepit” badan. Anak-anak lelaki kita, juga tidak sesuka hati bercelana pendek memperlihatkan lututnya. Ketika orang tua di rumah mengajarkan shalat saat waktunya tiba, kita yakin menjelang azan maghrib cafe-cafe di pinggir jalan akan ditinggalkan sejenak untuk menunai kewajiban.

Keluarga merupakan institusi sosial yang utama dalam membina nilai-nilai akhlak karimah pada bangunan kehidupan yang lebih luas, yakni bermasyarakat, termasuk skala bernegara. Karenanya, orang tua sebagai tiang keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dan tanggungjawab yang besar dalam membina akhlak generasi berikutnya agar menjadi pribadi-pribadi yang santun, jujur, dan cinta keadilan. Bukan pribadi-pribadi sebaliknya.

Kita selalu ingin cepat, ingin cepat membangun tatanan Islam yang sempurna. Sementara kita lupa menyiapkan generasi itu. Kita dengan mudah “mengislamkan” negara kita, tetapi lupa mengislamkan setiap pribadi di rumah-rumah kita. Kita dengan mudah menabal negeri akidah tasauf, tetapi alfa mendidik pribadi-pribadi bermental tasawuf dari rumah-rumah kita. Kita juga--mungkin--lupa menjadi teladan dan sosok bersyariat di rumah, sehingga tidak ada contoh bagi generasi berikutnya.

Bukankah Rasul kita memberi contoh bagaimana ia menyiapkan pribadi-pribadi bertauhid dari lingkup terkecil keluarga. Sehingga ketika turun ayat-ayat hukum, semua sahabat tunduk dan patuh menjalankan perintah. Di masa itu pula kita membaca kisah bagaimana para pendosa datang ke hadapan Rasul--dengan sadar-- meminta dijatuhi hukuman sesuai ajaran Islam.

Mari kita segarkan kembali, mulakan menebar Islam mulai dari rumah kita. Bekali anak-anak kita menjadi pribadi santun, berakhlak, dan ajarkan Islam kepada mereka. Sehingga tiba saatnya mereka berbaur di masyarakat luas, ia menjadi pribadi yang menjalankan Islam dengan kesadaran. Jika laku ini memancar dari setiap rumah, dari setiap keluarga di Aceh, maka ke depan kita tidak lagi menyalahkan bangunan syariat yang selama ini menjadi beban sejarah bangsa Aceh.
* tulisan ini juga dimuat di Harian Serambi Indonesia

Post a Comment

أحدث أقدم