Di tengah ekonomi rakyat yang masih terpuruk, harga kebutuhan hidup masih belum bersahabat, wakil rakyat di DPR Kota Banda Aceh tetap menyetujui usulan tunjangan sewa rumah 30 anggota dewan sebesar Rp 2,8 miliar per tahun. Jumlah yang cukup besar, dibanding tahun sebelumnya.
Jika melihat realitas hidup warga Kota Banda Aceh saat ini pun, jumlah itu keterlaluan. Banyak warga Kota Banda Aceh, di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Itu belum termasuk mereka korban tsunami yang masih harus bersabar menempati rumah sementara di pinggiran Krueng Aceh dan sejumlah tempat lainnya.
Tetapi, apa boleh dikata, palu pimpinan sidang sudah diketok. Suka atau tidak, itulah gambaran hidup wakil rakyat kita di DPR sana. Sejumlah pandangan akhir fraksi dalam sidang tersebut, tidak satu pun yang menyoal besaran sewa rumah untuk anggota dewan itu. Rata- rata setuju dengan RAPBK itu. Kalau pun ada, hanyalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Itu pun kemudian tidak digubris pimpinan sidang saat fraksi ini meminta sisa dana tunjangan sewa rumah sebanyak 8 anggota FPKS dialihkan sebagai tambahan honor bagi 984 aparatur gampong dimasukkan ke dalam klausul keputusan dewan. Usulan itu ditolak panmus dan tetap menjadi lampiran dari keputusan dewan.
Dalam usulan itu, FKS meminta agar sisa dana tunjangan perumahan bagi F-PKS sebesar Rp 425 juta langsung dialihkan menjadi tambahan honor bagi 984 aparatur gampong di Banda Aceh.
Kenaikan tunjangan sewa rumah pimpinan dan anggota DPR Kota Banda Aceh yang mencapai 50 persen lebih, merupakan tragedi lama yang kembali terulang. Artinya, hal demikian bukan persoalan baru ketika datangnya penyusunan anggaran. Tiap tahun, hal yang sama terus terjadi di berbagai DPRD di Indonesia, termasuk Aceh. Namun yang sangat disesalkan adalah para wakil rakyat belum dapat mengambil pelajaran atas bagaimana masyarakat bersikap terhadap kondisi tersebut. Dan kini, anggota dewan di Banda Aceh mengawalinya dan tidak menutup kemungkinan terjadi juga di kabupaten lain, termasuk tingkat provinsi.
Apabila pada tahun anggaran 2007 pimpinan dewan mendapatkan 6,5 juta/bulan, maka untuk tahun anggaran 2008 menjadi Rp 9 juta/bulan. Hal yang sama juga terjadi untuk para anggotanya. Dengan keputusan tersebut, setiap tahun dipastikan akan terus terjadi kenaikan alokasi anggaran untuk memenuhi tunjangan sewa rumah anggota DPR Kota Banda Aceh.
Keputusan itu adalah pesta pora baru dalam menggerogoti uang rakyat di Banda Aceh. Tunjangan sewa rumah adalah hak setiap wakil rakyat ketika Pemerintah Daerah belum mampu menyiapkan perumahan khusus untuk anggota dewan. Akan tetapi, sebagai wakil rakyat sudah sewajarnya menunjukkan rasa empati yang tinggi untuk warga kota.
Artinya, ini merupakan kebijakan yang melukai rasa keadilan bagi warga Kota Banda Aceh. Anggaran tahun 2007 saja yang dialokasikan untuk tunjangan sewa rumah itu sudah cukup tinggi. Seharusnya DPR Kota Banda Aceh belajar dari tahun anggaran sebelumnya. Dan ini tak perlu terjadi lagi.
Meski tunjangan sewa rumah memang diatur dalam aturan hukum yang baku. Namun demikian, bukan berarti DPR Kota Banda Aceh dapat memutuskan begitu saja tanpa melihat kondisi riil kehidupan mayoritas warga Kota Banda Aceh. Tetapi sekali lagi, apa boleh buat, palu sudah diketuk. Wakil rakyat kita memang belum merakyat. Mereka belum berubah. Mereka sama sekali belum menunjukkan kepedulian bahkan empati kepada rakyat yang mengantarkannya duduk di kursi dewan. Wallahu'alam.