Hanya namamu yang menjadi musuhku, tapi engkau adalah dirimu sendiri, bukan Montague. Apa itu Montague? Bukan tangan, bukan kaki, lengan, muka atau apa saja. Dari tubuh orang, jadilah nama yang lain! Apalah artinya nama? Mawar masih tetap harum, andaikan namanya bukan lagi mawar."
Sebait kalimat di atas, adalah karya William Shakespeare, seorang sastrawan Inggris, yang sebagian kalimat itu sering dikutip orang. "What's in a name?" Apalah arti sebuah nama? Inilah yang kemudian lebih banyak muncul menjadi piasan pemanis sebuah ungkapan. Nama, menurut Shakespeare, hanyalah sebuah simbol, sementara substansinya tidak pada nama itu. Pengibaratannya pada setangkai bunga mawar yang tetap tercium harum--meski namanya tidak lagi mawar-- melambangkan bahwa apa yang diungkapkannya tidak pada sebuah simbol belaka atau pada pandangan kasar sebuah benda. Dalam Islam, nama adalah doa. Berharap dari nama itu, terpencar nilai-nilai kearifan yang akan muncul kemudian, sehingga Islam memandu umatnya agar memberi nama pada setiap keturunannya dengan nama yang baik.
Jika teliti pada sebait ungkapan Shakespeare itu, maka kita akan temui, Shakespeare tidak mengatakan "nama tidak berarti" dalam karyanya tersebut. Kalau kita baca paragraf utuhnya, Shakespeare ingin mengatakan bahwa substansi sesuatu bukan pada bajunya, melainkan pada dirinya sendiri. Shakespeare mengatakan nama adalah baju, sifat, perilaku, dan tingkah laku sesuatu adalah substansinya.
Jadi, Shakespeare tidak berniat mengatakan "nama tidak berarti," melainkan "perhatikan substansinya dulu, baru baju. Walau memang, kalau dikutip setengah atau sebagian, jadinya kalimat tersebut merujuk bahwa nama tiada penting. Apa yang dikatakan sastrawan Inggris itu, sejatinya menjadi penanda bagi kita, bahwa nama tidak berarti sama sekali, jika substansi dari nama itu tidak pernah muncul menjadi sebuah kearifan.
Begitu pula al nya dengan apa yang terjadi di Aceh saat ini. Beberapa hari terakhir, soal nama sering menjadi perbincangan. Nama Partai GAM misalnya, partai lokal yang dimotori para mantan kombatan ini, tersandung persoalan pelik soal nama yang mereka tabalkan pada partainya itu. Polemik ini menjadi bahasan panjang di tingkat elite. Selain itu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, juga pernah merasa terusik, ketika sebuah peraturan pemerintah (PP) memuat ketentuan soal nama dan lambang daerah yang tidak boleh mencerminkan separatis. Meski hingga kini, belum jelas, apakah keberatan Irwandi dengan PP tersebut sebuah indikasi bahwa di bawah pemerintahannya akan membuat bendera Aceh dengan lambang yang pernah menjadi ikon permusuhan dengan Jakarta.
Soal nama, Senin (25/2) lalu, sejumlah pengurus Partai GAM kembali mendaftarkan nama baru partainya itu. GAM yang semula tanpa kepanjangan menjadi Gerakan Aceh Mandiri, begitu juga dengan bintang bulan sabit, mereka sudah menggantinya dengan akronim GAM di tengah bendera partai tersebut. Meksi perubahan nama dan lambang sudah dilakukan pengurus partai tersebut, tetap langkah mereka terkesan masih setengah hati. Buktinya, tetap saja lambang itu bisa dengan mudah dikenali dengan akronim GAM yang semula tanpa kepanjangan menjadi Gerakan Aceh Mandiri. Ini tentunya sebuah langkah politik dan secara hukum mereka sudah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Mengadopsi pendapat Shakespeare, sejatinya sejak awal Partai GAM bisa lebih luwes bermain di tataran yang sangat substansif, bukan pada konsep kasar sebuah nama dan lambang. Transformasi mereka ke wilayah politik tidak serta merta harus membawa nama yang menjadi pusaka bagi mereka. Seperti dikatakan Shakespeare, mawar akan tetap harum, kendati namanya tidak lagi mawar. Perumpamaan ini, bisa menjadi bahan renungan bagi Partai GAM. Meski, nama tidak lagi apa yang selama ini mereka agungkan, tetapi kewujudan partai itu akan tetap ada dan mudah dikenali publik jika substansi dari gerakan mereka menjadi bagian dari pembela rakyat, tetap mereka jaga. GAM akan ada dihati rakyat, ketika langkah mereka benar-benar menjadi jembatan kepentingan rakyat banyak. Tetapi sebaliknya, meski nama tetap mereka pakai dari ikon perjuangan masa lalunya, tetapi jika substansinya tidak berpihak pada rakyat (hanya kepentingan kelompok), maka nama itu akan menjadi redup dan tidak mendapat tempat di hati rakyat banyak.