TANGGAL 28 Agustus 2012, kali pertama saya berkesempatan memberikan pelatihan dasar menulis bagi komunitas difabel di Banda Aceh, yakni Young Voice. Mereka adaalah kelompok angkatan muda penyandang disabilitas berumur antara 16-25 tahun yang memiliki potensi bekerja untuk mengadvokasi serta mempromosikan persamaan hak bagi penyandang disabilitas.
Di sebuah rumah tidak jauh dari belakang terminal lama, Setui, Banda Aceh, mereka berkumpul, berkarya, saling mengisi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Di sana mereka juga membicarakan tentang hidup dan kehidupan mereka. Ada semangat terpancar dari raut-raut wajah anak-anak muda di komunitas Young Voice tersebut.
Saat saya datang, kesan pertama, Hening...
Mereka banyak terdiam dan tidak terlalu respons dengan kehadiran saya. Perlu waktu, sekitar 10 menit mencairkan situasi agar saya bisa menyatu dengan hati dan apa yang sedang mereka pikirkan. Bermula dari sebuah cerita tentang saya, tentang nama saya yang sejak tahun 2000 sudah masuk ke Aceh. Namanya, Saja!.
Saya memulai dengan cerita, tahun 2000 saya mulai menulis di beberapa majalah nasional yang peredarannya hingga ke Aceh. Istri saya, [tahun itu belum menjadi istri saya, ia masih berstatus sebagai mahasiswa di Banda Aceh] sudah kenal nama saya sejak tahun 2000 dan tidak tahu siapa orangnya.
Tahun 2006, ketika ia resmi menjadi istri saya. Dia terkejut, bahwa sebenarya saya yang saat ini menjadi suaminya, sudah sejak lama dia kena dari tulisan-tulisannya ia baca di beberapa majalah. "Itulah kekuatan menulis, tulisan dan ide-ide kita menembus batas teritori, "
Dari cerita itu, terlihat mulai ada aura positif di pelatihan tersebut. Beberapa peserta terlihat tersenyum. Sementara, saya pemandu bahasa isyarat juga menerjemahkan bahasa lisan saya kepada peserta yang memiliki keterbatasan berbicara.
"Jika anda ingin didengar, ide anda ingin dibaca orang, hak-hak anda terpenuhi, anda ingin memberika pemahaman tentang anda dan teman-teman semuannya, Anda jangan diam. Anda harus menulis, sampaikan ide-ide dan persoalan anda hadapi saat ini melalui tulisan ketika suara anda terhalangi dengan keterbatasan yang anda hadapi saat ini,"
"Jangan harap mereka mengerti dan memahami kita, jika kita tidak pernah memberikan gambaran apa dan siapa kita,?"
Suasana semakin akrab, ketika para peserta bertanya tentang bagaimana memulai menulis. "Tulis apa yang menjadi persoalan di sekitar anda, tulis di sekeliling anda, tulis tentang anda dan teman-teman saat ini,"
Dari pertanyaan-pertanyaan itu, kemudian diketahui dari 17 peserta, 5 diantaranya memiliki keterampilan menulis puisi, membaca puisi, dan menulis cerpen. Izal, misalnya. Ia yang terbatas ruang geraknya, dan harus terduduk di kursi roda, ternyata pernah masuk 10 besar juara menulis puisi yang diadakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh.
Mulyadi juga demikian, siswa SLB Bukesra ini, pernah menjuarai lomba baca puisi di Bandung dan Yogyakarta. Ada juga Shanti, perempuan tunawicara ini, terampil membuat sandal. Di rumahnya, ia terbiasa menerima pesanan sandal dengan berbagai motif yang dia buat dari bahan karet. Ketika saya memintanya membuat sepasang sandal untuk saya, dengan sigap dia bertanya--dengan bahasa isyarat-- yang diterjemahkan pendampingnya. Ia bertanya nomor berapa dan warna apa yang saya suka. Dan dia menyebutkan harga sepasang sandal tersebut.
Tanpa diduga, pesanan saya tersebut juga diikuti oleh beberapa peserta lain di pelatihan itu. Ada empat peserta yang memesan sandal buatan Shanti. Shanti menuliskan pesanan tersebut di buku yang dia bawa ke pelatihan. Dengan cekatan dan tulisan tangan yang cukup rapih, terlihat Shanti begitu profesional menggeluti pekerjaannya tersebut sebagai pembuat sandal.
Satu jam berlalu, ternyata ke 17 orang peserta pelatihan dasar menulis tersebut memiliki latar belakang dan beragam keahlian. Dari sini cukup memudahkan saya membimbing mereka memulai menulis dari hal-hal kecil yang mereka geluti saat ini. Misal, Shanti akan menuliskan tentang kerajinan sandal yang ia produksi. Bagaimana ia memasarkan produk dan kendala apa yang dia hadapi selama ini. Mereka saya arahkan untuk menulis apa yang mereka bisa tulis di sekitar mereka. Apa yang bisa mereka tulis tentang mereka.
Hingga puku 12.00 WIB sejak dimulai pada pukul 10.00 WIB tak saya duga, sudah ada 17 tema tulisan yang akan digarap mereka terkait komunitas mereka. Ini sebuah permulaaan, saya tidak masuk kepada teknnis menulis yang baik, bagaimana ejaan yang benar. Bagaimana tanda baca yang benar. Semua berjalana alamiah, apa yang bisa mereka tulis sebagai permulaan.
Dari enam tulisan yang dikirim lebih awal oleh mereka di pelatihan itu. Semua tulisan berbicara keluhan dan ketidakmampuan mereka bersaing dan lingkungan sekitar mereka. "Saat ini, jangan ada lagi keluhan, curhat tentang ketidakberdayaan kita. Tunjukkan kita bisa!"
"Jika kita ingin diperhatikan, tunjukkan bahwa ada mutiara di jiwa kita. Tunjukkan kita bisa berbuat, maka orang-orang akan menjumpai kita. Mereka akan butuh karya kita. Jika diam dan tak berbuat dari hal kecil yang bisa kita lakukan, dunia akan diam terhadap kita,"
Tak saya sadari apa yang saya katakan rupanya cukup membuat mereka bersemangat. Mereka mulai terbuka dan berbagai tentang apa yang bisa mereka lakukan dalam keterbatasan yang mereka hadapi saat ini.
Subhanallah.... ada 17 rencana tulisan yang mereka rangkum dalam sebuah tema besar "Tulisanku, Suaraku" Sebuah Catatan Komunitas Young Voice Aceh.
Tulisan ini memang suara mereka. Tulisan-tulisan itu adalah mimpi dari suara mereka yang selama ini tak terdengar dunia. Mereka tak bersuara, mereka tak dapat melihat. Tetapi mereka bisa bersuara dengan tulisan dan memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka bisa.
Nanti disambung lagi ......semangat terus untuk teman-teman di Young Voice, Banda Aceh