"Syarat menjadi mujahid antara lain, berumur minimal 20 tahun, sehat rohani, mendapat restu orang tua. Selain itu, diutamakan yang memiliki ilmu kebal dan Peurabon."
ITU adalah penggalan kalimat pada satu spanduk sebagai aksi keras atas kebrutalan Yahudi Israel yang menggempur Gaza sejak 17 hari terakhir. Beragam cara diekpresikan masyarakat muslim, termasuk di Aceh sebagai keprihatinan terhadap nasib muslim Palestina. Mulai aksi penggalangan dana sampai seruan jihad di berbagai spanduk dan tersebar di beberapa titik di Banda Aceh. Bahkan sejumlah Ormas Islam dan masjid jamik di Aceh, secara resmi membuka rekruitmen untuk menjadi mujahid ke Palestina.
Nah, mengenai syarat berjihad, seperti pada penggalan kalimat pada spanduk yang dibentang di kawasan Simpang Surabaya, Banda Aceh itu, saya dapat memahaminya. Bahkan menurut saya, masih ada syarat yang kurang, yaitu mujahid tidak sedang punya tanggungan hutang kepada orang lain. Hanya saja yang membuat dahi saya berkerut, ketika membaca kalimat "Diutamakan memiliki ilmu kebal dan peurabon".
Dalam pemahaman awam, bahwa seseorang yang memiliki ilmu kebal, berarti kuat dibacok, dipukul, disilet dan kuat terhadap sayatan benda tajam lainnya. Sementara ilmu Peurabon, berarti ilmu untuk mengelabui orang lain. Dalam terminologi ilmu kebatinan, sering disebut juga ilmu halimun. Pemakai ilmu ini, tidak akan pernah bisa dilihat oleh orang lain. Konon, para pencuri, perampok, dan perompak kelas kakap sering menggunakan ilmu ini untuk mengelabui mangsanya. Lalu, apa hubungannya dengan jihad ke Palestina?
Saya pikir panitia yang mencantumkan syarat itu, punya niat mulia agar para mujahid Aceh yang pergi ke Palestina tidak mati konyol terkena bom Israel yang mengandung Phosphor itu. Tetapi, dalam perjalanan pulang dari kantor tempat saya bekerja kalimat kebal dan peurabon itu terus saja bergelayut dalam pikiran. Apa syarat itu dibolehkan syariat atau tidak?
Jawaban tentang itu, tentu harus ahli fiqh yang menjelaskan secara rinci. Mengingat sebagian orang ada yang menganggap ilmu kebal dan peurabon menjadi wajib ketika menghadapi musuh seperti Israel, katanya. Namun saya punya logika lain--terus terang tidak disandarkan kepada dalil atau kaidah lainnya dalam agama--bahwa orang berjihad itu berarti mencari syahid. Satu pola menjemput maut yang sangat dirindukan seorang muslim, baik melalui qital (perang) melawan musuh-musuh Islam atau jalan lain yang mulia dalam membela agama. Jadi, ketika seorang muslim berniat berjihad sepenuh hati, pada saat itu pula ia serahkan semua jiwa dan raganya kepada Allah swt, alias tidak takut mati.
Para sahabat Rasulallah saw dalam catatan sirah Nabi berlomba- lomba menggapai sahid. Tidak satupun sejarah mencatat para sahabat pergi ke Badar atau pada saat pergi perang Uhud dibekali ilmu kebal atau Peurabon. Pun, ketika ada sebuah kejadian sahabat tidak mempan saat terkena tombak atau panah kafir Quraisy itu, saya yakin itu semata-mata karena kehendak Allah swt. Tetapi, sepertinya tidak pernah satupun saya baca cerita soal ini dalam catatan sejarah Nabi dan para sahabat di awal penyebaran risalah Islam.
Mujahid itu, orang yang berjihad di jalan Allah Swt. Artinya, meninggalnya seorang yang sedang berjihad adalah peroleh pahala sebagai Syuhada, dan itu yang dicari para sahabat Rasul. Seorang sahabat Rasulallah Saw bernama Hanzolah baru saja melangsungkan pernikahan, ia masih berstatus pengantin baru. Malam pertama, panggilan jihad berkumandang. Hanzolah memenuhi panggilan itu hingga menggapai syahid di medan jihad. Syuhada ini, diabadikan dalam catatan sejarah kafilah para syuhada. Tentu Hanzolah tidak memiliki ilmu kebal.
Nabi kita yang mulia Muhammad Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya tentang ilmu kebal, terutama kepada para sahabatnya. Silahkan dicek dalam sejarah beliau dan sejarah para sahabat beliau. Selain itu tidak ada riwayat atau hadits yang shahih berkenaan dengan ilmu kebal tersebut. Selain itu di dalam sejarah Rasulullah, dikabarkan bahwa beliau pernah terluka ketika berdakwah di Thaif karena dilempari batu. Kemudian dalam perang Uhud beliau juga terluka hingga giginya rompal dan pipinya tertusuk tombak. Hamba Allah yang paling mulia ini tidak kebal. Beliau hanya bertawakkal kepada Allah. Seandainya ilmu kebal itu diajarkan oleh Rasulullah, tentunya beliau sudah mengamalkannya dan mengajarkan kepada para sahabat beliau untuk digunakan berperang melawan orang-orang kafir dan musyrik ketika itu.
Menyoal syarat mujahid yang akan diberangkatkan ke Palestina itu, diutamakan memiliki ilmu kebal dan Peurabon, rasanya terlalu mengada-ada dan jauh dari tuntunan Islam yang benar. Karena berjihad itu mencari syahid, dan itu telah dipraktikkan sahabat Rasulallah saw. Artinya, jika kita, anda, dan siapa saja berazam untuk berjihad fie sabilillah, menolong saudara kita seiman, maka anda tak perlu memiliki ilmu kebal.
Logika orang berjihad itu mencari syahid, termasuk meninggal dalam medan pertempuran jika Allah berkehendak demikian. Maka matinya sebagai syuhada. Nah, dengan ilmu kebal itu, kalau memang kuat menghadang bom Israel, maka mujahid yang memiliki kekebalan tubuh tidak akan pernah menggapai mati syahid. Sesuatu yang bertolak belakangan dengan apa yang pernah dijalankan para sahabat Nabi.
Untuk itu, kepada anda para relawan atau orang-orang pergerakan melabelnya sebagai mujahid, berangkatlah kalian berjihad untuk membela saudara kita di Palestina tanpa harus punya ilmu kebal dan peurabon. Sebab, bangsa jahil Israel itu, bisa berjaya dan sewenang-wenang karena mereka punya strategi dan taktik jitu di alaf (zaman) modern ini. Satu hal lagi, bangsa Palestina dan pejuang Hamas yang sedang berjihad saat ini di Gaza, tidak satu pun dari mereka yang mensyaratkan kebal dan memiliki ilmu peurabon dalam jihad melawan Zionis Israel itu. Semoga saya tidak sedang mengajari para calon mujahid yang sudah mendaftar jihad ke Palestina itu.
Mempertegas jihad untuk mengembalikan tanah Palestina, terutama Masjid Al Aqsha, sebagai kiblat pertama umat Islam itu, saya petik kembali apa yang pernah diceritakan kawan saya, Hery Nurdi, Pemred Majalah Sabili di Jakarta. Suatu ketika, sebelum memulai sidang Seminar Al-Aqsha Haqquna "Aksi Nyata Mengembalikan Al-Aqsha ke Pangkuan Muslimin" di Gedung Pos Bandung. Untuk mengalahkan Zionis Israel, dan mengembalikan Al-Aqsha ke pangkuan muslimin, menurutnya, tidak butuh banyak orang, tapi sedikit saja asalkan kuat dalam ibadah. Muslimin, katanya Hery, mesti belajar dari Muhammad Al-Fatih, imam terbaik dengan pasukan terbaik, ketika mereka sanggup membebaskan Konstantinopel ke pangkuan muslimin.
Pada pertemuan itu, Hery Nurdi, meminta seluruh peserta berdiri. Maka spontan semuanya berdiri sambil senyum-senyum, yang di antara mereka ada yang bertanya-tanya, apa maksudnya mereka disuruh berdiri.
Lalu Hery melanjutkan, "Sekarang saya mau mengajukan tiga pertanyaan, nanti yang merasa agar duduk". Pertanyaan pertama, "siapa yang di antara kalian yang sejak akil baligh sampai sekarang tidak pernah meninggalkan shalat fardhu?". Sambil malu-malu, senyum-senyum simpul, ada juga yang tertawa, tertegun duduk rapi. Tinggal tersisa sekitar tidak lebih dari hitungan jari tangan saja orang yang masih berdiri.
Pertanyaan kedua, "Siapa di antara kalian yang sejak akil baligh sampai sekarang tidak pernah meninggalkan shalat nawafil atau sunah?" Semua peserta pun duduk, sambil riuh gemuruh. Belum sampai pada pertanyaan ketiga, semua peserta seminar sudah duduk. Pertanyaan ketiga yang diajukan saat itu adalah "Siapa di antara kalian yang sejak akil baligh hingga saat ini tidak pernah meninggalkan shalat tahajud?"
"Itulah Al-Fatih!" Ketika akan memimpin sekitar 6.000 pasukannya untuk menghadapi tentara super power pada jaman itu di Konstantinopel. Pada pertanyaan pertama Al-Fatih, sekitar 3.000 pasukannya masih berdiri. Pada pertanyaan kedua, tinggal separuhnya lagi. Begitu pertanyaan ketiga ketika menanyakan yang tidak pernah meninggalkan shalat tahajud sejak akil baligh sampai dewasa. Hanya tinggal satu orang, yaitu Al-Fatih sendiri yang masih berdiri.
Belajar aqidah kuat kepada Al-Fatih sangat penting dalam membebaskan Al-Aqsha ke pangkuan muslimin menghadapi Zionis Israel. Insya Allah dengan membiasakan diri memperhatikan masalah shalat, mulai shalat fardhu, shalat nawafil, hingga shalat tahajud, menjadikan kita kuat karena dikuatkan Allah.
Butuh waktu pembuktikan sekitar 800 tahun sejak Nabi Muhammad menyabdakan akan bebasnya Konstantionopel oleh pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik, yakni Al-Fatih. Nah, rupanya dengan shalat wajib dan amalan sunah yang konsistenlah, muslimin bisa menyiapkan generasi terbaik untuk membebaskan Palestina, mengembalikan masjidil Aqsha dan harga diri muslimin di Gaza. Bukan dengan ilmu kebal dan Peurabon.
Penulis adalah wartawan Serambi Indonesia & Korlip Tabloid Kontras.