Selasa, 11 November 2008, Piagam Hak Perempuan Aceh ditandatangani. Saat itu sekitar 1.000 an orang berkumpul di Taman Ratu Safiatuddin, mereka larut dalam suka cita. Hak-hak mereka yang selama ini dinilai belum menjadi perhatian semua pemangku kebijakan di Aceh, akan segera berakhir. Sebab, Piagam Hak Perempuan yang ditandatangani berbagai elemen pemangku kebijakan di Aceh itu, selanjutnya akan menjadi titik pijak dalam berbagai hal terkait perempuan.
Para perempuan itu membuat sejarah baru? seperti begitulah kabarnya. Sebab, piagam itu--katanya--merupakan kali pertama sebuah piagam diinisiasi bersama sera ditandatangani langsung oleh 13 pemangku kepentingan yang sangat mempengaruhi kebijakan. Dengan demikian, segala sesuatu kebijakan terkait perempuan Aceh akan dan harus berpatokan pada piagam tersebut. Mudah-mudahan, amin!.
Panitia juga cukup berbesar hati, sebab langkah yang mereka retas sejak lama itu telah membuahkan hasil. Ada pertanda baik yang mereka rasakan dengan ketulusan berbagai pihak untuk menandatangani piagam hak perempuan Aceh. Sebanyak 18 pasal dalam piagam itu, secara spesifik menyorot masalah-masalah khusus yang ada di Aceh. Termasuk sebuah pasal yang mengajak dan mendorong kembali agar apa yang telah diratifikasi secara nasional bisa diwujudkan.
Soal piagam, sepertinya bukan untuk pertama kali kita mendengar istilah itu. Banyak sudah piagam yang kita hafal, ada Piagam Madinah, Piagam Jakarta, dan lainnya di dunia. Namun, yang istimewa dari Piagam Hak Perempuan yang dideklarasi sekaligus ditandatangani sejumlah pemangku kebijakan di Aceh itu, katanya merupakan piagam kali pertama tentang perempuan dan sama sekali tidak bertentangan dengan Islam sebagai agama mayoritas di Aceh.
Menilik isi pasal demi pasal dalam piagam tersebut, sepertinya memang tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama. Lihat saja, diantara 18 pasal, beberapa diantaranya menyebutkan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hidup dan kehidupan, Hak beragama dan beribadah, hak perempuan dalam keluarga, hak atas pendidikan, hak berpolitik, hak atas akses dan kontrol terhadap sumberdaya, hak perlindungan dan persamaan di depan hukum, hak berserikat dan mengeluarkan pendapat, hak atas pengakuan dan penghargaan, dan hak memutuskan dan bertanggung jawab pada diri sendiri.
Poin-poin di atas, memang tidak bertentangan dengan agama. Bahkan, Islam sejak jauh hari secara tak langsung tidak langsung sudah mengabarkan ini kepada pemeluknya. Persoalannya, piagam ini muncul karena masing-masing kita khususnya di Aceh yang beragama Islam sangat kurang peka sekali memperhatikan hal-hal dimaksud dalam ajaran agama. Alhasil, ajaran suci yang tertera dalam nash-nash Alquran tidak mampu difahami secara utuh sehingga pemeluk agama ini harus mengambil bentuk lain dalam mengaktualisasi nilai-nilai agama yang menghargai hak hidup kaum perempuan. Lahirnya piagam hak perempuan di Aceh adalah salah satu dari belum terfahaminya teks agama terkait hak perempuan. Format ini memang bisa dikatakan baru dan sesuatu hal yang menarik perhatian perempuan di Aceh. Tetapi, kita juga mesti sadar bahwa piagam hanyalah sebuah simbol 'kramat' yang dalam kesehariannya sering kali hanya menjadi wacana pemanis saja. Kontrak politik dengan pembubuhan tanda tangan Gubernur Aceh dan sejumlah pemegang kebijakan di negeri ini hanyalah sakralisasi simbol dari kewujudan piagam itu. Ke depan, selalu dipastikan banyak pihak kembali kurang peduli atas apa-apa yang sudah dideklarasikan itu. Dalam kesehariannya, para pemangku kebijakan lebih suka berorientasi pada kepentingan kelompok pendukung secara umum, ketimbang memperhatikan hal-hal detil soal nasib perempuan di negeri ini. Piagam Hak Perempuan adalah awal kebangkitan, tetapi kita juga mafhum gebrakan itu sering sekedar simbol belaka yang pada akhirnya terlupakan di tengah jalan seiring pergantian kekuasaan. Sebab kita cukup mafhum, pola kepemimpinan di negeri ini belum sepenuhnya menerima apa yang sudah dilakukan pendahulu. Pergantian kekuasaan selalu saja merontokan kebijakan dan struktur yang sudah dipetakan sebelumnya. Meski kita tetap berharap, gaung Piagam Hak Perempuan itu tidak rontok seiring pergantian kekuasaan di negeri ini. Semoga!
foto: dok/arif ramdan