BEGITU cepat hari berlalu, tahun berganti. Sekarang kita kembali berjumpa bulan Ramadhan. Bulan berkah berlimpah pahala bagi orang yang menunaikannya. Pahala sunat diganjar sebanding perintah wajib dalam agama. Allah swt memberikan jaminan ampunan dosa bagi mereka yang beribadah di bulan Ramadhan dengan penuh ikhlas sekaligus meraih predikat taqwa.
Shaum, nama populer bulan puasa yang hadir sekali dalam setahun. Namun, bulan mulia ini sering terabaikan tanpa mengisinya dengan ibadah puasa dan berbagai amalan lain, sehingga ia berlalu begitu saja dan tanpa makna. Kenapa itu terjadi? Karena sebagian umat Islam memahami ibadah puasa sebatas rutinitas tahunan. Maka mempersiapkan pun cenderung bersikap konsumtif yang justru melenceng dari tuntunan syariat agama.
Sebutlah contoh, ketika memasuki bulan ramadhan atau saat berada di bulan sya'ban, ada budaya masyarakat kita yang mengisinya dengan kegiatan leha-leha. Misal, ramai-rama mengunjungi pantai dan tempat wisata. Budaya melepas nafsu karena akan "dikekang" dalam bulan Ramadhan. Padahal agama tidak menganjurkan perbuatan demikian.
Persepsi tentang makna Ramadhan dengan persiapan berlebihan, sehingga banyak yang mulai was-was, bagaimana bisa membeli daging meugang karena harganya yang mendadak naik. Atau membeli pakaian (kain dan peci) baru karena akan memasuki bulan puasa. Para mahasiswa ramai-ramai mudik ke kampung hanya untuk meugang bersama keluarga. Hal itu cenderung menjadi tradisi yang sering tidak sesuai logika sehat.
Bagaimana sesungguhnya menanti bulan suci Ramadhan? Inilah yang mesti dipahamkan kepada umat, sehingga tidak justru melakukan hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Kebiasan atau tradisi yang salah harus diganti dengan aktivitas lebih mengarah kepada nilai ibadah. Misal, keharusan membeli daging meugang, saya yakin tidak diajarkan dalam agama, meskipun semangat mempersiapkan diri seperti ini perlu dihargai sebagai keragaman budaya dalam masyarakat kita.
Dalam terminologi fikih, puasa merupakan aktivitas ibadah dengan menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya (seperti makan, minum, dan berhubungan suami istri), dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. "Makan dan minumlah kalian hingga terang bagimu antara benang putih dari benang hitam, yaitu saat fajar," (QS.Al Baqarah:187).
Prinsip puasa adalah self restraint (pengendalian diri) untuk tetap berada pada posisi yang ditentukan Allah swt. Dalam bahasa Arab dikenal istilah imsak-an (menahan diri) dan imsak-bi (berpegang teguh kepada) perintah Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain puasa berarti upaya untuk mengendalikan diri dan mengendalikan hawa nafsu karena mentaati perintah Allah.
Puasa akan dipandang sebagai ibadah bila dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Itu sebabnya puasa disebut pula sebagai amal badani (berhubungan dengan jasmani), amal nafsi (berhubungan dengan jiwa) dan amal ijabi (amal positif yang sangat besar pahalanya).
Meneladani Allah
Puasa merupakan media pelatihan untuk membentuk nilai-nilai dasar kehidupan agar tujuan dasar hidup menjadi lurus. Puasa meneladani sifat-sifat Allah swt dalam kehidupan dunia ini. Misal,
Ketika kita tidak makan dan minum, tidak bergaul dengan isteri, sifat siapakah itu sesungguhnya? Siapakah sesungguhnya yang tidak butuh makan dan minum? Siapakah sesungguhnya yang tidak butuh isteri yang menemani? Bukankah ini semua sifat-sifat Allah?
Jadi disadari atau tidak, pelaku puasa sesungguhnya sedang meneladani Allah. Penelitian psikologi modern telah menunjukkan hal ini. Daniel Goleman, seorang ahli kecerdasan emosional telah melakukan riset tentang pengaruh puasa terhadap kepribadian seseorang. Riset yang dilakukan di Taman Kanak-Kanak Stanford terhadap anak-anak usia empat tahun yang perkembangan terus dipantau sampai mereka dewasa dan masuk dunia kerja.
Hasil penelitian Goleman menunjukkan bahwa anak yang mampu mengendalikan diri lewat puasa akan memiliki sifat-sifat kuat dan tahan menghadapi stres, sabar tidak mudah bertengkar, cerdas, mampu berkolaborasi dan bertanggungjawab. Mari perhatikan dengan seksama, siapakah sesungguhnya pemilik sejati sifat kuat, sifat sabar, sifat cerdas, sifat berkolaborasi, sifat bertanggungjawab itu? Bukankah itu adalah sifat Allah Qawiyy, Ash-Shobuur, Ar-Rasyiid, Al-Jami', dan Al-Matiin?
Menyimak gambaran tersebut, siapa saja yang berpuasa namun tidak berhasil meniru sifat-sifat Allah, maka puasanya hanya berbuah lapar dan dahaga saja. Puasa yang kaya spiritualitas seharusnya adalah puasa yang menumbuhkan sifat jujur, tanggungjawab, visioner, kerja sama, disiplim, adil, peduli, dan sifat-sifat terpuji lainnya yang bersumber dari sifat-sifat Allah. Puasa yang seperti ini sesungguhnya adalah training untuk melatih manusia supaya benar-benar siap menjadi wakil Allah di muka bumi yang menghargai dan menjunjung tinggi sifat-sifat-Nya.
Perlu dipahami, bahwa meninggalkan makan dan minum hanyalah umpan untuk munculnya sifat-sifat Tuhan dalam diri pelaku puasa, bukan tujuan akhir. Setelah nilai-nilai dasar ini terbentuk maka radar hati pelaku puasa akan mampu menangkap bahwa arah dan tujuan hidup yang sesungguhnya adalah pengabdian kepada Allah.
Puasa telah mengajarkan sepedih apapun penderitaan hidup tetapi bila disertai kesadaran mengabdikan hidup ini kepada Allah Sang Pencipta maka semuanya menjadi ringan bahkan menyenangkan.
Inilah sesungguhnya puncak spiritualitas itu. Inilah sesungguhnya predikat taqwa itu. La'allakum tattaquun, insya Allah.
Penulis adalah Wartawan Harian Serambi Indonesia
Foto :dok/Akhmad Sutrisno