Panggilan Allah, selain Haji


La baik Allahumma Labaik/ Labaik alaa Syarikalakalabaik
Kupenuhi panggilan Mu, Ya Allah/ Tiada bersekutu Bagi Mu Duhai Allah


KETIKA menulis artikel ini, saya sempat berpikir bahwa saya sedang dan akan mengajari orang lain tentang ibadah yang belum saya kerjakan ( menunaikan ibadah haji)-ritual penyempurna dalam menjalankan syariat agama. Namun saya kemudian menjadi bersemangat setelah menjumpai seorang teungku usai shalat magrib di sebuah masjid; dia mengatakan: sampaikan! Insya Allah kamu akan sampai pada apa-apa yang akan kamu sampaikan itu (menunaikan haji). Amin.

Memasuki bulan Dzulkaedah ini, orang Muslim yang dikarunia kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan haji, secara perlahan mulai memadati masjidil Haram. Mereka yang berangkat lebih awal, akan berada di Madinah untuk beberapa pekan, hingga akhirnya merapat ke Makkah Al Mukarramah pada perayaan puncak haji, yaitu wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah nanti.

Ibadah haji ditujukan bagi mereka yang mampu. Ibadah yang diwajibkan sekali seumur hidup dan dilaksanakan setahun sekali itu, semakin diminati umat. Bahkan untuk kuota haji tahun depan (reguler) sudah penuh sehingga waiting list (daftar tunggu) semakin panjang. Tetapi, kita tak perlu khawatir karena ibadah haji hakikatnya adalah panggilan Allah. Jadi, siapa saja yang sudah dipanggil-Nya, tak satu pun dapat menghalangi.

Memaknai haji, sering kali dilakukan dengan pendekatan nyata ibadah haji itu sendiri. Misalnya, penjelasan tentang hikmah dan hakikat ibadah haji tidak lepas dari pembeberan sejarah ’bapak‘ kita, Ibrahim as dan anaknya Ismail as. Suatu perjalanan sejarah tentang keshalihan seorang bapak, anak, dan bahkan istri tercinta dalam meretas jalan mentaati setiap perintah Allah swt. Sebagai muslim, kita tentu sangat mafhum dengan cerita yang kerap dikhotbahkan ketika shalat Idul Adha. Dan dipastikan, momen Idul Adha tahun lalu, juga tahun-tahun berikutnya selalu akan diulang dengan cerita perjalanan ritual tersebut.

Format seperti itu, sering pula membentuk pola hidup beragama masyarakat kita biasa-biasa saja. Ritual tahunan itu, tidak pernah membekas menjadi sebuah perenungan mendalam menapaki jejak yang digariskan pendahulu kita, Ibrahim as. Walhasil, umat ini menjadi tidak bergairah dan menemukan sesuatu yang baru dalam meniti jalan menuju ridha Nya.

Masyarakat kita, sering lupa makna sesungguhnya dari kode dan simbol haji yang setiap tahun diperdengarkan itu. La baik Allahumma Labaik (kupenuhi panggilan-Mu, kupenuhi panggilanMu, Ya Allah).Labaik alaa Syarikalakalabaik...(tiada bersekutu Duhai Allah..). Kalimat talbiyah ini bukan sesuatu yang asing bagi kita, anak-anak kita yang duduk di bangku taman kanak-kanak (TK) malah sudah hafal betul kalimat-kalimat ini, karena ibu guru telaten mengajarkannya di sekolah. Dan mereka yang dipanggil untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu, sudah bersusah payah mengumpulkan segenap kemampuan untuk memenuhinya. Harta, tenaga, ilmu, dan segala hal yang mendukung pelaksanaan ibadah itu habis tercurah untuk satu kalimat: “Aku memenuhi panggilan-Mu”.

Alquran (surat.Ali Imran: 97), Allah dengan tegas memanggil siapa saja di antara hambaNya yang telah mampu untuk memenuhi panggilan ke baitullah. “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.

Ibadah haji, termasuk satu dari sekian banyak panggilan Allah yang diserukan kepada umat manusia, selain perintah mendirikan shalat, puasa, dan zakat. Hanya saja kita sering memahami “panggilan” itu pada hal-hal yang tampak dari sisi seremoninya.. Misal, ketika bulan Ramadhan tiba, orang-orang yang dalam kesehariannya jarang mendirikan shalat, tiba-tiba menjadi seseorang yang rajin mengunjungi masjid. Terkadang, dandanannya juga lebih necis dari orang-orang yang terbiasa mendirikan shalat lima waktu di hari-hari biasa di luar Ramadhan. Masyarakat kita (muslim) yang lebih gemar untuk hal-hal bersifat perayaan, semisal maulid nabi dan israk mikraj, meskipun pesan arif dari kedua perayaan itu tidak dilaksanakan. Demikian pula shalat, kita dan kebanyakan orang sering berpura-pura lupa untuk memenuhinya. Baik karena kesibukan kerja atau terlena dengan hal- hal yang sebenarnya tidak begitu penting untuk dikerjakan.

Sesungguhnya, panggilan Allah swt, bukan hanya haji, tapi kewajiban lain seperti shalat, kewajiban bersedekah, dan tidak menyekutukan (syirik) kepada Allah. Panggilan Allah untuk hamba Nya itu, bergema di setiap waktu shalat. Panggilan Allah itu nyata di depan mata, ketika orang-orang fakir mengetuk pintu meminta sedekah, dan ibadah lainnya. Namun justru acapkali kita mengabaikannya.

Seharusnya, ketika saudara kita bergegas memenuhi panggilan ke baitullah, maka kita yang tinggal (tidak berangkat) sadar, bahwa pemenuhan panggilan Allah itu juga ada pada kita yang ditinggalkan. Bukankah rukun Islam yang lain bisa kita kerjakan setiap waktu sesuai ketentuannya? Labaik Allahumma labaik!

Berbahagialah orang-orang yang bersegera memenuhi panggilan-Nya ketika Allah setiap saat memanggil kita. Karenanya kita harus berusaha maksimal dan ridha dalam memenuhi panggilan Allah setiap harinya––selain ibadah haji. Niscaya suatu hari, ketika kita mendapat giliran dipanggil ke tanah suci, akan benar-benar siap melaksanakan karena sudah berlatih sekian lama, Insya Allah, predikat haji mabrur akan lebih besar peluang diraih.

*) Penulis adalah Wartawan Kontras

2 Comments

Previous Post Next Post